Kamis, 09 Februari 2012

Menemukan Arti Hidup

Menemukan Arti Hidup





Ada seorang guru besar dari sebuah universitas terpandang belum puas dengan hidupnya. Ia masih mencari arti hidup itu sesungguhnya bagi dirinya. Memang, dia sudah menguasai bidang ilmunya dengan sangat baik. Harta, dia punya. Istri dan anak-anak dia sudah punya. Persoalan baginya adalah arti hidup itu.

Karena itu, suatu hari guru besar itu memutuskan untuk melakukan suatu perjalanan jauh. Ia ingin menemukan arti hidup itu. Ia meninggalkan istri dan anak-anaknya dengan menulis pesan singkat di atas secarik kertas, “Jangan cari saya.”

Setelah beberapa tahun dan ribuan kilometer berjalan, guru besar itu tiba di sebuah gubuk seorang pertapa yang terkenal kudus. Guru besar itu meminta kepada sang pertapa agar memberikan keterangan. Orang kudus itu mengundang sang guru besar itu masuk ke dalam tempat tinggalnya yang sederhana. Ia menyuguhkan secangkir teh kepadanya.

Pertapa itu mengisi cangkir tehnya sampai penuh, malah sampai tumpah di lantai. Guru besar itu memperhatikan terus ulah sang pertama sampai akhirnya dia tidak bisa menahan diri. Lalu guru besar itu berteriak, “Berhenti! Itu sudah penuh! Tidak ada lagi teh yang dapat masuk.”

Pertapa itu tidak peduli. Ia mengisi terus cangkir teh itu. Lantai penuh dengan air. Guru besar itu tidak sabar menyaksikan ulah sang pertapa itu.

Guru besar itu menatap wajah pertapa itu dan berkata, “Berhenti, pak pertapa. Lantai ini sudah terlalu penuh dengan air. Tidak usah buang-buang teh.

Sang pertapa itu lantas memandang wajah guru besar yang tampak panik itu. Dengan penuh kesabaran, ia tersenyum kepada guru besar itu. Lalu ia berkata, “Seperti cangkir ini, demikian juga dirimu. Engkau sudah penuh dengan pendapatmu sendiri dan gagasan-gagasanmu. Bagaimana saya dapat mengajarkan kepada Anda tentang arti hidup, kalau engkau tidak mengosongkan cangkir dirimu?”

Guru besar itu terperanjat mendengar kata-kata bijak sang pertapa itu. Ia sadar, situasi itulah yang melingkupi dirinya selama ini. Ia terlalu memaksakan kehendak kepada orang lain. Ia selalu merasa menang sendiri, karena ia seorang guru besar yang sangat ahli. Ia kurang mendengarkan pandangan orang lain.

Kita sering bersikap seperti guru besar itu. Kita menutup telinga kita rapat-rapat untuk setiap bentuk nasihat atau pandangan dari orang lain tentang diri kita. Bagi kita, pendapat kita yang paling benar. Pandangan orang lain tentang diri kita tidak bermanfaat apa-apa.

Karena itu, sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu mengubah persepsi tentang kehidupan kita. Kita perlu mengosongkan cangkir-cangkir diri kita. Lantas kita biarkan gagasan-gagasan yang baik masuk ke dalam diri kita.

Setiap hari kita mengalami begitu banyak hal baik. Ada begitu banyak orang yang mau ikut terlibat dalam pergulatan hidup kita. Mereka memberikan nasihat, pengarahan dan gagasan-gagasan yang baik bagi pertumbuhan kepribadian kita. Kita mensyukuri semua itu. Tuhan bekerja melalui orang-orang di sekitar kita. Tuhan membantu pertumbuhan hidup kita melalui orang-orang di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/menemukan-arti-hidup.html

Senin, 30 Januari 2012

Mendamba Kehidupan yang Damai, Tenteram, Aman






Seorang raja muda ingin menjadi orang baik, bijaksana dan memerintah rakyatnya menurut kehendak Tuhan. Dia mengumpulkan semua orang paling bijaksana dari seluruh kerajaan dan memerintahkan mereka untuk mengumpulkan semua kebijaksaan ke dalam buku-buku. Dengan demikian dia dapat membaca dan belajar sendiri bagaimana memerintah dengan baik.

Orang-orang bijaksana itu segera memulai pekerjaan raksasa itu. Sesudah tiga puluh tahun pekerjaan itu baru selesai. Satu barisan unta panjang membawa lima ribu jilid buku berjalan menuju istana. Pada saat itu, raja sudah berusia lima puluh tahun. Ia dipenuhi dengan banyak tugas dan rencana. Dia melihat unta-unta yang bermuatan buku-buku dan berkata, “Saya terlalu sibuk untuk membaca begitu banyak buku. Bawa semua buku ini kembali dan ringkaskan lagi untuk saya.”

Pekerjaan meringkaskan buku-buku itu memakan waktu lima belas tahun. Lantas orang-orang bijaksana itu dengan bangga menghasilkan lima ratus jilid. Ketika mereka menyerahkan kepada raja, ia berkata, “Masih terlalu banyak. Lima puluh cukup.”

Saat itu, banyak orang bijaksana telah meninggal dunia. Tetapi para pengganti mereka meneruskan karya itu. Dalam waktu sepuluh tahun mereka membawa lima puluh buku kepada raja.

Pada saat itu raja sudah tua dan kelelahan. Raja berkata, “Kamu harus dapat meringkaskannya ke dalam satu buku.”

Mereka dapat menyelesaikannya dalam waktu lima tahun. Tetapi ketika mereka membawa buku yang sangat berharga itu kepada raja, itu sudah terlambat. Raja sudah terbaring di dalam ranjang kematiannya.

Suatu pekerjaan yang bernilai akan lebih bernilai lagi kalau memiliki tepat guna. Sering kali orang menciptakan sesuatu yang bernilai harganya, tetapi hanya bisa disimpan untuk dirinya sendiri. Benda itu kemudian karat dan hancur oleh waktu. Tidak berguna bagi kehidupan manusia.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita ingin menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita. Kita ingin menciptakan damai, kerukunan dan ketenangan di tengah-tengah masyarakat. Kita yakin, melalui tiga hal ini kita dapat mencapai cita-cita membangun keluarga yang harmonis, aman, sejahtera dan tenteram.

Coba Anda bayangkan, kalau di sekitar Anda selalu terjadi keributan. Misalnya, selalu saja ada orang yang mabuk. Pasti Anda merasa tidak senang. Pasti Anda merasa terganggu oleh teriakan-teriakan orang yang mabuk di malam hari. Padahal di saat-saat seperti itu Anda sangat membutuhkan waktu untuk beristirahat dari segala kelelahan sepanjang hari.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk menciptakan suatu kehidupan yang damai, tenteram, aman di sekitar kita. Untuk itu, orang berimanlah yang pertama-tama mesti menunjukkan keimanannya dengan hidup yang baik. Misalnya, selalu peduli terhadap lingkungan sekitar, selalu mau ikut berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

Kalau hal-hal ini dilakukan, kehidupan yang lebih baik akan dapat tercapai. Orang berimanlah yang mesti memulainya dari lubuk hatinya yang terdalam. Mari kita bawa cita-cita kita untuk memiliki masyarakat yang baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/mendamba-kehidupan-yang-damai-tenteram.html


Kamis, 26 Januari 2012

Berusaha Tetap di Jalan yang Benar





Sudah lama seorang pemuda mengembara di sebuah hutan yang sangat lebat. Ia dapat menikmati indah dan nyamannya hutan. Suatu hari, ia ingin keluar dari hutan itu. Ia berkata dalam hati, “Sekarang saya yakin untuk menemukan jalan yang benar untuk keluar dari hutan ini.”

Namun hari itu ia tidak menemukan jalan keluar. Setelah berhari-hari mencari jalan keluar, ia tidak juga menemukan jalannya. Ia hampir putus asa. Namun di waktu malam ia melihat nyala obor yang berada jauh di depannya. Cahaya obor itu makin lama makin mendekat kepadanya. Dan akhirnya ia bertemu dengan orang yang membawa obor itu.

Awalnya pemuda itu merasa cemas. Ia takut kalau-kalau orang yang ia jumpai itu seorang perampok yang bermaksud merampas barang-barang miliknya. Meski begitu, ia berani bertanya kepada orang itu. “Saudara, maukah Anda mengatakan kepada saya jalan keluar dari hutan ini? Saya telah mengembara di dalam hutan ini beberapa minggu. Namun waktu saya mau keluar, saya tidak dapat menemukan jalan keluar,” kata pemuda itu.

Orang itu berkata kepadanya, “Saudara, saya juga tidak tahu jalan keluar, sebab saya juga tersesat. Tetapi inilah yang dapat saya katakan. Jangan lewati lagi jalan yang telah saya lalui ini. Sebab saya tahu bahwa itu bukan jalan keluar. Sekarang, marilah kita mencari bersama-sama jalan keluar dari hutan ini.”

Kadang-kadang orang tersesat dalam perjalanan. Pepatah kuno mengatakan, jangan malu bertanya, kalau Anda tersesat di jalan. Soalnya, mengapa orang bisa sesat di jalan? Ada banyak sebab. Mungkin orang sungguh-sungguh tidak tahu jalan yang benar. Mungkin ada orang yang kurang punya daya ingat tentang jalan. Akibatnya, setiap kali melewati jalan yang sama ia selalu tersesat. Atau ada juga yang kurang punya perhatian. Yang penting lewati saja suatu jalan.

Nah, kalau mau tidak tersesat, orang mesti memiliki strategi-strategi. Misalnya, menghafal tanda-tanda yang ada di jalan tersebut atau menghafal rumah-rumah yang ada di sekitar jalan itu. Atau membawa peta dalam kendaraan atau di saku baju.

Sebagai orang beriman, kita kadang-kadang juga tersesat. Kita tidak mengikuti ajaran agama yang sudah kita pelajari. Akibatnya, kita jatuh ke dalam dosa. Kita mudah tergoda oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Untuk itu, kita butuh rambu-rambu.

Setiap hari kita sudah berjuang untuk tetap setia kepada Tuhan. Kesetiaan itu menjadi sangat bermakna, kalau kita tetap berada di jalan Tuhan. Kita tidak menyimpang ke jalan lain yang menjerumuskan kita. Karena itu, mari kita bangun hati yang bersih, agar kita tetap setia kepada Tuhan yang kita sembah. Tuhan selalu setia kepada kita dengan melindungi kita dari marabahaya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/berusaha-tetap-di-jalan-yang-benar.html


Berlaku Adil terhadap Sesama

Berlaku Adil terhadap Sesama



Seorang tukang permata yang miskin, tetapi jujur dipenjarakan atas tuduhan kejahatan yang pernah dibuatnya. Dia ditempatkan di dalam sebuah penjara yang tinggi dan ketat terlindung di tengah pusat kota. Pada suatu hari, ketika dia sudah dipenjarakan berbulan-bulan, istrinya datang ke gerbang utama. Wanita itu mengatakan kepada para penjaga tentang suaminya, tukang permata yang miskin tetapi sangat saleh dan seorang pendoa. Dia akan hilang tanpa tikar sembahyangnya yang sederhana. Tidakkah mereka mengijinkan dia untuk memiliki satu-satunya harta ini? Para penjaga setuju, karena itu tidak merugikan dan memberikan kepadanya tikar sembahyang. Lima kali sehari dia membuka tikarnya dan berdoa.

Banyak minggu telah berlalu. Pada suatu hari tukang permata itu berkata kepada para penjaga, “Saya bosan duduk saja di sini dari hari ke hari tanpa berbuat sesuatu. Saya seorang tukang permata yang trampil. Bila tuan-tuan membiarkan saya memiliki potongan-potongan logam dan beberapa alat sederhana, saya akan membuat untuk Anda permata. Tuan-tuan dapat menjual itu di pasar untuk menambah gaji tuan-tuan yang rendah. Saya hanya meminta sedikit saja, sekedar mengisi waktu luang dan tetap mempertahankan ketrampilan saya.”

Para penjaga itu setuju. Hari-hari berlalu, menjadi minggu dan bulan. Pada suatu pagi yang cerah, ketika para penjaga sampai pada sel tukang permata, ternyata sel itu kosong. Tidak ditemukan tanda bagaimana dia dapat meloloskan diri. Beberapa waktu kemudian, penjahat yang sesungguhnya dipenjarakan. Tuduhan terhadap tukang permata itu memang palsu.

Pada suatu hari, di pasar kota, lama sesudah pelarian diri si tukang permata, salah seorang penjaga bertemu dengan mantan narapidana: tukang permata itu. Segera petugas penjara itu menjelaskan bahwa penjahat yang sebenarnya sudah tertangkap. Kemudian dia bertanya kepada tukang permata bagaimana dia dapat meloloskan diri. Tukang permata itu menceritakan kisah yang menarik.

Istrinya sudah pergi kepada arsitek utama yang merancang pembangunan penjara. Istrinya memperoleh dari arsitek itu denah pintu-pintu dan kunci-kunci sel. Kemudian denah itu disulam pada tikar sembahyang. Setiap hari ketika dia berdoa, kepalanya menyentuh denah itu. Perlahan, dia mulai melihat bahwa di dalam denah yang satu dan yang lainnya, ada rancangan kunci pintu selnya. Dari sisa-sisa logam dan dengan alat-alat sederhana, dia membentuk sebuah kunci dan melarikan diri. Penjaga itu sangat tercengang mendengar kisah itu. Luar biasa akal sang tukang permata.

Dari kisah ini kita diajarkan betapa manfaat kreatifitas dapat mengubah hidup manusia. Orang yang tidak bersalah mesti dilepaskan dari hukuman. Namun karena hukum tidak fair, maka orang yang tidak bersalah mesti menggunakan kelihaiannya untuk membebaskan diri.

Kita semua dipanggil untuk membebaskan diri dan sesama yang tidak bersalah dari kecurangan dan ketidakadilan yang sering terjadi di dunia ini. Tugas orang beriman adalah menegakkan keadilan bagi hidupnya dan bagi sesama. Pertanyaanya, sudahkah kita memperjuangkan kebenaran selama hari ini? Atau apakah kita terlibat dalam ketidakadilan terhadap sesama? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/berlaku-adil-terhadap-sesama.html

Rabu, 25 Januari 2012

Berani Menyerahkan Diri

Berani Menyerahkan Diri


Ada seorang anak yang terperosok ke dalam sebuah danau. Ia berjuang mati-matian untuk keluar dari danau itu. Di tepi danau itu berdiri ibunya yang berteriak histeris. Ibunya sendiri tidak bisa membantunya, karena tidak bisa berenang. Ia ketakutan melihat anaknya yang masih berusia lima tahun itu meronta-ronta dari tengah danau itu.

Di samping ibu itu berdiri seorang lelaki kuat yang tampak acuh tak acuh terhadap keselamatan anak itu. Berulang kali ibu itu meminta lelaki itu untuk menyelamatkan anaknya, tetapi dia tetap tidak bergerak sedikit pun. Beberapa saat kemudian perjuangan anak itu mulai berkurang. Tenaganya mulai habis. Akhirnya, ia kehilangan tenaga dan muncul di permukaan air dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Pada saat itu, lelaki itu melompat ke dalam kolam itu dan menyelamatkan anak itu.

Ibu itu terheran-heran. Mengapa lelaki itu baru turun di saat anaknya sudah tidak berdaya? Setelah air dikeluarkan dari perut anaknya dan anaknya dapat bernafas kembali, ibu itu mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan lelaki itu.

Namun di dalam hati ibu itu masih tersimpan rasa penasaran. Ia pun bertanya, “Mengapa engkau tidak lebih cepat menyelamatkan anak saya?”

Lelaki itu menjawab, “Nyonya, saya tidak dapat selamatkan anakmu selama dia masih berjuang. Dia akan menenggelamkan kami berdua. Tetapi ketika dia semakin lemah dan berhenti berjuang, maka mudah bagi saya untuk menyelamatkannya.”

Ibu itu mengangguk-angguk, meski ia tidak dapat mengerti maksud lelaki itu. “Apa artinya berhenti berjuang baru bisa diselamatkan?” tanya ibu itu dalam hatinya.

Ketika orang masih bisa berjuang, ia tidak dapat menyerahkan hidupnya, nasibnya ke tangan orang lain. Perjuangan untuk mencapai sesuatu sering juga menyingkirkan orang lain. Atau suatu perjuangan untuk menggapai sesuatu dalam hidup dapat juga menjerumuskan sesama. Orang yang mau berjuang sendiri juga tidak akan menghasilkan banyak hal.

Karena itu, orang mesti berani menyerahkan hidup kepada sesama untuk dibantu agar dapat meraih kesuksesan dalam hidup. Orang yang ingin dibantu mesti percaya kepada orang yang dimintai bantuan itu. Kepercayaan itu penting artinya bagi yang membantu, karena ia akan membantu dengan segenap hati.

Bagi orang-orang beriman, penyerahan diri kepada Tuhan secara total menjadi suatu tuntutan yang mesti dijalani. Orang beriman mesti berani mempercayakan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan itu segalanya bagi orang beriman. Tuhan mampu menyelamatkan orang dari kemalangan hidupnya. Hanya Tuhan yang dapat memberi petunjuk yang jelas kepada manusia.

Sadar atau tidak, hari ini kita sudah berusaha untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Kita merasa diri sebagai orang-orang yang tidak berdaya. Kita adalah makhluk yang terbatas. Karena itu, kita meminta bantuan dari Tuhan. Kita yakin, hanya Tuhan yang mampu memberi kita pertolongan.

Karena itu, mari kita serahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, Sang Penolong sejati kita. Jangan tergoda oleh berbagai tawaran dunia yang menggiurkan yang sering membuat kita tidak berdaya. Kalau kita mau Tuhan membantu perjalanan hidup kita, kita mesti pasrah secara total kepadaNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/berani-menyerahkan-diri.html

Selasa, 24 Januari 2012

Mensyukuri Anugerah Tuhan

Mensyukuri Anugerah Tuhan




Ada seorang pemuda yang sedang mendalami hidup spiritual. Ia mendatangi seorang pertapa yang terkenal di kotanya. Kepada pertapa yang saleh itu, pemuda itu mengajukan permintaan, “Bapak Pertapa, tunjukkan kepadaku bagaimana saya dapat menemukan Tuhan.”

Pertapa itu bertanya, “Berapa besar kerinduanmu ini?” Pertapa itu menatap wajah pemuda itu dalam-dalam.

Orang muda itu menjawab, “Lebih dari apa pun di dunia ini.”

Pertapa itu membawa orang muda itu ke tepi sebuah danau yang ada di pekarangan pertapaan itu. Tanpa berkata apa-apa, pertapa itu masuk bersama pemuda itu ke dalam danau. Mereka masuk hingga ke leher mereka.

Kemudian pertapa itu mengangkat tangannya dan menekan kepala orang muda itu ke dalam air. Orang muda itu meronta-ronta. Ia berjuang untuk melepaskan diri dari tangan pertapa itu. Ia berteriak-teriak, agar pertapa itu melepaskan dirinya. Tetapi pertapa itu tidak melepaskan dirinya sampai ia hampir tenggelam.

Ketika mereka kembali ke pinggir danau, pertapa itu bertanya kepada pemuda itu, “Anakku, ketika engkau berada di dalam air, apa yang engkau inginkan lebih dari segala yang lain?”

Tanpa ragu-ragu pemuda itu menjawab, “Udara!”

Kata pertapa itu, “Baik, ketika engkau ingin menemukan Tuhan seperti engkau menginginkan udara, maka matamu akan terbuka terhadap keajaiban Tuhan.”

Tuhan senantiasa hadir dalam setiap langkah hidup kita. Seringkali kita tidak merasakannya. Ia hadir seperti udara yang secara otomatis kita hirup untuk kehidupan kita. Sering kita tidak peduli bahwa Tuhan selalu menyertai kita dalam perjalanan hidup kita. Karena itu, di saat-saat kita mengalami kesulitan dan derita, kita seringkali menganggap Tuhan jauh dari kita. Tuhan tidak peduli lagi terhadap hidup kita.

Ada seorang suami yang tega mengkhianati cintanya kepada istri dan anak-anaknya. Ia tidak peduli terhadap pergulatan hidup mereka. Bahkan ia menghabiskan uangnya di meja judi. Ia membiarkan mereka terlantar. Padahal setiap kali ia pulang ke rumah, istri dan anak-anaknya menyambutnya dengan penuh kasih sayang.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi atas diri suami itu? Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup. Sebagai orang beriman, kita meyakini bahwa Tuhan selalu membimbing langkah hidup manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaanNya berjuang sendirian di dunia ini.

Setiap hari kita mendapatkan begitu banyak berkat dari Tuhan. Dia memberi kita makan, minum, pakaian, semangat bekerja dan teman sekerja yang baik. Dia memberi kesempatan kepada kita semua untuk membangun suatu hidup yang lebih baik.

Karena itu, mari kita bersyukur atas anugerah Tuhan yang kita terima hari ini. Mari kita bawa setiap usaha kita hari ini di dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, kita selalu mendapat berkat untuk hari esok. Hari esok akan menjadi suatu kesempatan yang sangat bermakna bagi pertumbuhan iman kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/mensyukuri-anugerah-tuhan.html

Jumat, 20 Januari 2012

Memiliki Kepekaan terhadap Sesama

Memiliki Kepekaan terhadap Sesama




Setelah terjadi hujan lebat yang mendatangkan banjir dan menghanyutkan puluhan rumah penduduk di daerah kumuh, seorang pendeta datang mengunjungi tempat itu. Ketika tiba di daerah kumuh yang terkenal itu, pendeta itu melihat seorang anak berdiri telanjang di depan sebuah rumah. Dinding rumah yang terbuat dari sisa-sisa sampah itu telah hanyut dibawa banjir. Sekilas pandang, segala yang ada dalam rumah tersebut bisa dilihat tanpa hambatan apa pun, karena memang rumah tersebut tak berdinding. Dengan penuh rasa belas kasih pendeta itu bertanya, “Di mana ibumu?”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut anak itu. Matanya memandang jauh ke depan. Namun pancaran matanya mengatakan bahwa ia tak memiliki masa depan yang jelas. Ia telah kehilangan segalanya. Kedua orangtuanya telah hanyut bersama banjir. Dan satu-satunya yang kini ia miliki cuma sebuah rumah tak berdinding, sebuah rumah tak beratap. Matanya jauh menatap sebuah kehampaan.

Sang pendeta seakan mendapat pukulan yang keras dalam batinnya. Kata-kata Sang Gurunya terdengar jelas di telinga pendeta itu, “Aku datang agar kamu memperoleh kepenuhan hidup.”

Namun apakah anak ini memperoleh kehidupan yang penuh? Suatu kepenuhan dalam kehampaan? Dalam kebisuannya, anak itu seakan berkata, “Aku butuh uluran tanganmu.”

Pendeta itu bertanya keras, “Apakah yang harus aku perbuat?” Peristiwa ini ternyata menjadi awal pertobatan pendeta tersebut, yang selanjutnya mengabdikan diri untuk hidup bersama kaum miskin, membantu mereka untuk bangun dan membantu diri sendiri.

Di sekitar kita ada begitu banyak orang yang kurang beruntung. Tentu itu bukan kehendak mereka untuk hidup dalam kemalangan dan kemiskinan. Mereka hidup dalam situasi terpaksa.

Ada seorang bupati yang sangat memiliki perhatian bagi rakyatnya yang menderita. Ia membuat program-program untuk mengentas kemiskinan di wilayahnya. Dia menggunakan dana taktis yang biasanya dikucurkan setiap tahun. Jadilah para tukang becak di wilayah kabupatennya dapat memiliki rumah sederhana melalui kredit murah. Ia juga memberi beasiswa bagi anak-anak miskin. Bahkan ia membebaskan biaya sekolah bagi warganya sampai sembilan tahun. Cita-citanya adalah setiap warga di kabupatennya memiliki hidup yang lebih baik.

Tentu hal seperti ini sungguh luar biasa. Seorang pemimpin mesti memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Seorang pemimpin mesti memperhatikan sesamanya yang menderita. Dan caranya adalah dengan membuat program-program kerja yang dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Setiap hari Anda sudah bekerja keras untuk keluarga Anda. Pertanyaannya, apakah di sela-sela kesibukan Anda, Anda masih memiliki hati bagi sesama yang kurang beruntung? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/memiliki-kepekaan-terhadap-sesama.htm