Selasa, 31 Mei 2011

Melihat dengan Hati

Melihat dengan Hati



Ada seorang gadis yang sangat cantik. Ia menjadi idola banyak pemuda. Sayang, mata gadis itu buta. Berbagai obat dan perawatan sudah diusahakan baginya. Tetapi semua sia-sia. Jalan terakhir adalah operasi.

Gadis itu selalu mendapat dorongan dari seorang pemuda yang tampangnya sangat jelek. Tetapi karena usaha dan pengorbanan pemuda itu, gadis itu pun jatuh cinta.

Ketika gadis itu dioperasi, pemuda itu bergembira sekali. Namun ia juga merasa takut. Ia cemas kalau nanti sesudah dapat melihat dan memperhatikan tampangnya yang jelek, gadis itu akan meninggalkannya. Ketika gadis itu dapat melihat, ia memeluk dan mencium kekasihnya. Dulu ia hanya dapat mendengar suaranya yang lembut. Kini ia dapat melihat wajah pemuda pujaannya itu.

Gadis itu sangat bersukacita, karena dapat melihat sendiri tampang pemuda itu. Ia mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan pengorbanan pemuda itu bagi dirinya. Pemuda itu tertegun. Ia merasa heran menyaksikan gadis itu.

Dengan terharu, ia berkata, “Saya kira sesudah engkau melihat sendiri tampang saya, engkau akan meninggalkan saya.”
Gadis itu menjawab dengan hati yang tulus, “Saya sudah melihat engkau dengan hati sebelum saya melihat engkau dengan mata.”

Melihat dengan hati itu tentu tidak sekali jadi. Orang membutuhkan suatu proses yang berjalan terus-menerus. Kadang-kadang terjadi benturan demi benturan. Ada tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh seseorang dalam usaha untuk melihat orang lain tidak hanya dengan mata fisik.
Melihat dengan mata hati itu berarti orang memiliki kepekaan yang mendalam terhadap situasi di sekitarnya. Untuk itu, orang mesti belajar untuk memiliki kepekaan terhadap orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Cinta yang mendalam akan sesama dapat dibangun, kalau orang dapat melihat dengan hati keinginan dan kerinduan sesamanya.

Gadis dalam kisah tadi mampu melihat dengan hati pemuda yang dicintainya. Tentu hal itu terjadi berkat kepekaannya terhadap pemuda itu yang dengan setia mendampingi dan memberikan dorongan baginya. Melihat dengan hati itu penting bagi setiap orang agar suasana di sekitar kita menjadi lebih baik. Suasana di mana selalu ada kreasi-kreasi baru yang tumbuh tanpa dipaksakan dari pihak lain.

Ajaran agama kita tentu memberikan pedoman-pedoman yang mesti kita jalankan. Namun yang terpenting bagi kita adalah kita mesti menjalankan semua pedoman itu dengan suatu semangat kepekaan yang mendalam terhadap sesama dan situasi di sekitar kita.

Kalau orang menjalankan ajaran-ajaran agamanya hanya karena aturan, ia akan tumbuh menjadi orang yang kurang kreatif dalam hidupnya. Ia bertumbuh menjadi orang yang minimalis dalam hidupnya. Padahal Tuhan memberikan kebebasan kepada kita semua untuk bertumbuh dan berkembang dalam hidup yang nyata.

Mari kita belajar untuk memiliki kepekaan yang mendalam terhadap orang lain dan situasi di sekitar kita. Dengan demikian, kita memiliki hati yang tergerak untuk kebahagiaan sesama. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/melihat-dengan-hati.html

Selasa, 24 Mei 2011

Membangun Sikap Berjaga-jaga

Membangun Sikap Berjaga-jaga


Bulan Mei 1984 lalu Majalah National Geographic memuat foto-foto dan gambar-gambar meletusnya Gunung Vesuvius dan bencana yang melanda kota-kota Romawi, seperti Pompeii dan Herculaneum. Karena Gunung Vesuvius meletus dengan tiba-tiba, banyak orang terbunuh saat sedang melakukan aktivitas.

Ada orang yang masih mengadakan transaksi jual beli di pasar. Ada orang kaya yang sedang mandi di bak mandi mewah. Ada budak-budak yang sedang bekerja. Ada orang yang sedang berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan hartanya.
Orang-orang itu sebenarnya tidak perlu mati. Karena sebelum bencana itu terjadi sudah ada tanda-tanda yang mengiringinya, yaitu gempa bumi dan munculnya gumpalan asap yang tebal. Hewan-hewan yang tinggal di sekitar gunung itu pun sudah turun ke pemukiman manusia.

Orang-orang itu masih punya kesempatan untuk lari sejauh mungkin, sehingga selamat dari bencana. Tetapi hal itu tidak mereka lakukan, entah karena tidak tahu, acuh tak acuh atau ingin tahu fenomena alam yang luar biasa itu atau karena alasan lainnya.

Sikap berjaga-jaga merupakan suatu sikap yang mesti dimiliki oleh semua orang. Orang yang selalu bersiap-siap itu akan menemukan tempat yang aman bila suatu ketika terjadi bencana. Untuk itu, dibutuhkan suatu kepekaan terhadap situasi di sekitar. Orang yang memiliki kepekaan akan sangat membantu dirinya dan sesama untuk menyelamatkan diri dari bencana.

Namun kepekaan itu tidak datang begitu saja. Kepekaan itu mesti diasah dalam kehidupan sehari-hari mulai dari hal-hal yang kecil. Betapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kesalahan yang tidak perlu. Karena itu, kalau orang dapat peka terhadap situasi di sekitarnya, orang akan mudah mengurangi biaya-biaya hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa berjaga-jaga dalam hidup ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seminggu atau sebulan yang akan datang. Cara kita berjaga-jaga adalah dengan menghidupi cinta kasih dan kebaikan yang diajarkan oleh agama kita.

Kita mesti tetap bertahan pada kebaikan-kebaikan itu. Dengan demikian, ketika tiba saatnya terjadi sesuatu yang buruk atas diri kita, kita mampu menghadapinya dengan penuh iman. Iman yang benar itu mesti dihayati dalam hidup yang nyata.

Berjaga-jaga tidak berarti kita tidak yakin bahwa Tuhan akan selalu menolong kita. Berjaga-jaga berarti kita mau membuka hati kita kepada Tuhan yang senantiasa menyertai hidup kita. Kita mau bekerja sama dengan Tuhan untuk memulai suatu hidup yang damai dan tenteram. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/membangun-sikap-berjaga-jaga.html

Membangun Semangat Disiplin

Membangun Semangat Disiplin


Suatu pagi, di perempatan jalan besar, berdirilah seorang polisi muda yang sedang bertugas mengawasi lalu lintas. Perempatan jalan itu memang ramai karena segala jenis kendaraan melewatinya. Becak, sepeda, taksi, bus kota, dan pejalan kaki berlalu lalang di sana.
Ketika lampu merah menyala, ada sebuah mobil sedan yang menerobos melanggarnya. Secara spontan, polisi muda itu membunyikan peluit. Mula-mula pengendara sedan itu tampaknya mau meneruskan jalannya. Tetapi polisi muda membunyikan peluitnya lebih keras sambil mendekat ke arah sedan. Akhirnya, sedan itu berhenti di tepi jalan.

Polisi muda itu mendekatinya dan dengan sopan meminta pengendara sedan itu untuk menunjukkan SIMnya. Ternyata, pengendara sedan itu adalah seorang perwira tinggi polisi yang berpakaian sipil, atasan polisi muda itu.

Pengendara sedan itu kelihatan tidak senang. Karena itu, dengan kasar ia menyerahkan SIM-nya. Polisi muda itu kemudian menerima SIM itu dan menuliskan sesuatu pada selembar kertas. Pengendara sedan itu kemudian berkata, "Suatu saat nanti jika Anda naik pangkat, mungkin sayalah yang akan menandatangani Surat Keputusannya."


Tanpa takut-takut dan dengan amat sopan, polisi muda itu lalu mengembalikan SIM kepada pengendara sedan itu bersama Surat Bukti Pelanggaran Lalulintas. Ia berkata, "Jika hal itu terjadi, ingatlah, Pak, bahwa di antara anak buah Bapak ada seorang polisi muda yang dapat diandalkan kerjanya. Selamat pagi dan selamat jalan."

Sering dalam hidup ini kita berhadapan dengan persoalan-persoalan yang pelik. Salah satunya adalah kedisiplinan di jalan raya. Ada begitu banyak kecelakaan yang terjadi di jalan raya disebabkan oleh rendahnya kedisiplinan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Namun satu hal yang pasti adalah orang merasa diri sebagai orang yang terlalu penting di dunia ini. Orang merasa bahwa melanggar disiplin itu bukan suatu malapetaka. Padahal jelas banyak terjadi kecelakaan di jalan raya karena rendahnya kedisiplinan itu.

Sebenarnya, kalau orang menyadari pentingnya kedisiplinan dalam hidup ini akan merasakan keuntungan yang besar. Hidupnya akan menjadi lebih teratur. Ia tidak perlu hidup dalam kesemrawutan.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kehidupan bersama menjadi suatu berkat bagi banyak orang. Untuk itu, kita mesti meningkatkan kedisiplinan dalam hidup ini. Kalau kita disiplin dalam hidup ini, kita juga yang akan menikmatinya. Bukan siapa-siapa. Kita sendiri yang akan menemukan kebahagiaan dalam keteraturan hiup itu. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/membangun-semangat-disiplin.html

Kamis, 19 Mei 2011

Ucapkanlah Terima Kasih

Kita semua senang bila orang menghargai kita dan pekerjaan yang kita lakukan. Kita sering melihat orang-orang memamerkan kartu ucapan terima kasih dari pimpinan mereka, sepucuk surat khusus dari konsumen, atau selembar sertifikat penghargaan atas keberhasilan, kemajuan dan prestasi mereka.

Anda bisa melakukannya secara empat mata, secara terbuka, dalam bentuk tertulis, atau dengan cara-cara yang lebih kreatif. Orang-orang yang hasil kerjanya dihargai kemungkinan besar hasil kerja berikutnya akan lebih baik.
Bahwasanya manusia haus akan penghargaan. Jika menerima pujian secara tulus atas apa yang telah dilakukan dengan baik, mereka tidak hanya merasa dihargai secara batiniah, tetapi juga membuahkan kebanggan tersendiri di kalangan keluarga dan teman-temannya. Hal ini akan membuat lebih semangat dalam bekerja dan berkarya.

- Kapankah Anda terakhir kali mengucapkan terima kasih pada seseorang ?
- Kapankah Anda terakhir kali memuji seseorang dengan tulus atas keberhasilannya menyelesaikan suatu pekerjaan ?
- Hari ini siapakah yang menurut Anda harus mendapat pujian?

sumber:http://www.facebook.com/profile.php?id=1252414929

Rabu, 18 Mei 2011

Kasih Itu Membahagiakan

Ada seorang tua yang tinggal di tepi sungai. Sungai ini adalah peralihan bagi para bebek dari udara dingin ke udara hangat menjelang musim dingin.
Pada suatu saat menjelang musim dingin, tiba-tiba datanglah angin kencang. Akibatnya, sebagian dari bebek-bebek yang sedang berenang di sungai itu terperangkap ke dalam gua yang terletak tidak jauh dari sungai itu.

Mengetahui hal ini, orang tua yang penuh cinta kasih ini kemudian setiap hari memberi makan bebek-bebek itu. Ia takut kalau bebek-bebek yang berada di dalam gua itu tidak memperoleh makanan dan mati kelaparan. Ia tidak tega melihat bebek-bebek itu tidak bisa bermain-main lantaran tubuh yang lemas. Ia mengulurkan tangan kasihnya untuk bebek-bebek itu.
Karena bebek-bebek itu diberi makan secara rutin setiap hari, mereka sampai lupa untuk pindah ke daerah yang udaranya hangat. Dari tahun ke tahun semakin banyak bebek yang menempati gua itu. Pada suatu hari ketika musim salju tiba, orang tua ini tiba-tiba meninggal dunia dan semua bebek yang berada di dalam gua itu menderita kelaparan.
Orang tua itu sudah tidak lagi memberi mereka makan. Bebek-bebek itu terancam mati dan punah. Namun ada orang lain yang mengunjungi gua itu terharu melihat perjuangan bebek-bebek itu untuk mencari makanan. Ia memulai aksinya dengan setiap hari datang ke gua untuk memberi makan bebek-bebek itu. Kehidupan bebek-bebek itu pun berlanjut. Mereka tidak mati. Mereka boleh meneruskan perjalanan hidup mereka.

Hidup ini dipenuhi dengan kasih yang bertumbuh dan berkembang setiap saat. Orang yang memiliki kasih itu orang yang peduli terhadap keaadaan di sekitarnya. Orang seperti ini tidak tega melihat sesamanya menderita. Begitu ia melihat ada sesamanya yang kekurangan, ia langsung mengulurkan tangan untuk membantu. Baginya, membantu sesama itu rahmat dari Tuhan. Tuhan menggunakan dirinya untuk membantu sesamanya yang menderita.

Banyak peristiwa hidup yang kita alami atau kita jumpai dalam hidup ini. Peristiwa-peristiwa itu membantu kita untuk menyadari bahwa hidup ini mesti terus berlanjut. Hidup ini tidak boleh berakhir dengan penderitaan. Hidup ini mesti terus mengalir dalam kebahagiaan.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita menjadi lebih bernilai bagi sesama di sekitar kita. Hidup seperti ini akan memberikan kepuasan batin dan kebahagiaan bagi kita. Karena itu, orang beriman itu orang yang selalu memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Artinya, ia hidup bukan hanya bagi dirinya sendiri. Tetapi juga bagi sesama yang membutuhkan bantuannya. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/kasih-itu-membahagiakan.html

Rabu, 11 Mei 2011

Memberi Rejeki untuk yang miskin


Waktu saya masih berada di Yogyakarta, saya sering tertegun menatap serombongan orang yang selalu memarkir diri di depan pintu rumah kami. Setiap hari Minggu mereka mendatangi rumah kami, seolah-olah mereka mesti mendapatkan jatah dari tangan kami. Guratan-guratan yang melintasi wajah-wajah mereka adalah sebuah fakta perjuangan. Setiap hari mereka bergumul dengan kerasnya kehidupan ini.

Saya mendengar tangis anak-anak yang mengharukan hati. Mereka, yang seharusnya bermain sorak-sorai bersama teman-temannya, mesti ikut berpartisipasi mengumpulkan sejumlah uang bagi berlanjutnya kehidupan. Terpaan hujan dan terik matahari bukan lagi halangan bagi mereka. Mereka digendong dalam jarik yang kumal berbau lantaran tiada sepotong sabun pun buat mencuci. Mata hatiku terbuka, ketika suara tangis anak-anak itu semakin nyaring di telingaku.

“Tetapi mengapa semua ini mesti menimpa mereka? Anak-anak itu kan tidak berdosa?” Saya bertanya dalam hati, sementara perasaan kemanusiaanku terus menggetarkan sukma.
Angan saya melayang jauh ke masa-masa silamku, ketika saya dipangku dan dibelai ayah ibu. Ketika itu, saya tak kekurangan sesuatu pun untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Apa saja yang saya inginkan pasti tersedia. Tetapi anak-anak di depan pelupuk mata saya saat ini tak memiliki apa-apa. Mereka hanya memiliki suara yang memekikkan tangis kesengsaraan. Tiada sesuap nasi berarti suatu tragedi besar bagi kelansungan hidup mereka.

Baru saja saya dengar cerita ibu-ibu mereka bahwa anak-anak itu tidak bisa sekolah. Tiada baju yang pantas yang mendukung pelajaran demi pelajaran di sekolah. Juga tidak ada alat tulis untuk menggambar dan menulis ilmu matematika.

Batinku terenyuh mendengarkan semua keluh kesah itu. “Apa yang bisa aku buat untuk mereka yang terlantar tak berdaya ini?” Aku memberontak terhadap diriku sendiri, seolah kondisi mereka itu menyiratkan ketidakpedulian sosialku terhadap sesama.

Mungkin Anda pernah menyaksikan peristiwi yang saya alami ini. Hati Anda tentu juga tertegun bahkan trenyuh menyaksikannya. Anda mungkin merogoh saku Anda untuk mengambil sejumlah uang bagi orang-orang miskin. Anda tidak tega menyaksikan penderitaan mereka.

Sebagai orang beriman, kita semua mesti memiliki hati yang terbuka untuk sesama yang menderita. Mereka butuh uluran tangan kita. Mereka butuh bantuan kita. Yang kita berikan dari apa yang kita miliki itu akan sangat berguna bagi hidup mereka. Karena itu, janganlah jemu-jemu untuk membantu orang yang ada di sekitar Anda. Pemberian Anda dari hati yang tulus itu menunjukkan iman Anda kepada Tuhan. Iman yang hidup itu diwujudkan dengan melakukan yang terbaik bagi sesama.

Mari kita menghayati iman kita dalam hidup sehari-hari secara nyata dengan membantu sesama yang membutuhkan. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/memberi-rejeki-untuk-yang-miskin.html

Senin, 09 Mei 2011

Menumbuhkan Energi Cinta

Suatu pagi, seorang bapak merasa sangat gelisah. Pasalnya, ia sudah bangun jam dua pagi. Ia tidak tahu mau buat apa. Ia bingung. Sementara seisi keluarganya yang lain masih tidur nyenyak.
Namun setelah termenung beberapa saat, ia menuju meja kerjanya. Ia mulai mengambil kanvas, kuas, cat air dan mulai melukis. Ia memang seorang pelukis yang terkenal di kotanya. Awalnya ia mengalami kesulitan untuk mencari tema atas lukisannya. Setelah tangannya mulai menggoreskan kuas di atas kanvas, muncullah sebuah tema yang menarik: seorang gadis cantik sedang tersenyum di pagi hari.

Pelukis itu menyelesaikan lukisannya dengan sangat cepat, begitu tema itu muncul di benaknya. Istrinya yang bangun jam tiga dibuatnya tercengang-cengang. Ia berdecak kagum melihat suaminya menghasilkan sebuah lukisan yang indah di pagi hari itu. Ia tersenyum kepada suaminya. Ternyata senyumnya tidak jauh berbeda dengan senyum gadis cantik di pagi hari hasil lukisan suaminya. Ia terkejut. Ia seolah sedang berhadapan dengan sebuah cermin besar.
“Pak, bapak sedang melukis wajah saya? Itu kan wajah saya, ketika saya masih muda,” kata istrinya.

“Apa benar? Saya tidak sengaja melukis wajahmu,” jawab suaminya dengan ekspresi wajah yang kurang percaya.

“Benar, Pak. Itu saya,” istrinya meyakinkan. Ia melonjak kegirangan.

Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru kali ini istrinya menjadi model bagi lukisan-lukisannya. Namun ia melukis wajah istrinya itu ketika ia sedang tertidur lelap. Ia tidak habis pikir, mengapa bisa terjadi seperti itu.

Ketika cinta sudah melekat, orang sulit untuk saling melupakan. Bahkan cinta suami istri seperti kisah ini menunjukkan betapa cinta yang mendalam itu membawa semangat hidup. Ada energi yang tumbuh dan berkembang dalam hidup berkeluarga.

Tentu saja cinta seperti ini sudah dibangun begitu lama. Ada proses jatuh dan bangun yang mesti mereka hadapi. Kadang-kadang ada luka yang mesti mereka obati bersama. Ada juga persoalan-persoalan yang mesti mereka lalui. Namun semua itu dapat dilalui berkat kuatnya cinta yang hidup di dalam hati mereka.

Tuhan juga senantiasa mencintai kita manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia berjuang sendirian dalam perjalanan hidupnya. Tuhan mau terlibat dalam suka dan duka hidup manusia. Itulah cinta Tuhan kepada manusia.

Nah, sebagai orang beriman, kita diajak untuk mencintai Tuhan dan sesama dalam hidup sehari-hari. Dengan cinta itu, kita memiliki semangat untuk terus-menerus berjuang dalam meraih kebahagiaan hidup ini. Energi cinta itu mesti ditumbuhkan dan dikembangkan dalam hidup yang nyata. Dengan demikian kita semakin kuat dalam membangun hidup bersama orang lain di sekitar kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/menumbuhkan-energi-cinta.html

Minggu, 08 Mei 2011

Menjadi Pemimpin yang Peduli


Ada seorang gembala sapi yang setiap hari berada di padang rumput. Ia menggembalakan seratus dua puluh ekor sapinya di sana. Setiap pagi ia mengeluarkan sapi-sapinya dan menuntun mereka ke padang rumput yang hijau. Ia menunggui sapi-sapi itu makan rumput hingga sore hari. Menjelang petang, gembala itu membawa sapi-sapinya ke sungai kecil yang mengalir tenang di pinggir kandang. Sapi-sapi itu minum sampai sepuas-puasnya sebelum dituntun kembali masuk ke kandang.

Di kala ada ancaman dari binatang buas lainnya, ia segera menghalau binatang-binatang buas itu. Dengan beberapa ekor anjingnya, ia mengejar binatang-binatang buas itu. Ketika ada sapi yang sakit, ia memberikan perawatan hingga sembuh. Sapi-sapi yang baru lahir ia perlakukan dengan sangat baik. Ia memeliharanya dengan hati-hati, sehingga tingkat kematian anak-anak sapi itu sangat berkurang.
Di malam hari, gembala itu menjaga kawanan sapinya. Ia tidur di gubuk yang tidak jauh dari kandang sapi-sapi itu. Anjing-anjingnya yang terlatih dengan baik ia biarkan tidur di luar gubuk itu. Mereka menjaga sapi-sapi dari serangan binatang buas atau para pencuri. Dengan kondisi seperti itu, sapi-sapi itu terasa nyaman. Mereka bertumbuh dan berkembang biak dengan sangat baik. Populasi selalu bertambah dari bulan ke bulan. Gembala sapi itu berhasil dengan baik. Ia menjual sapi-sapinya untuk kebutuhan hidup keluarganya.

Ketika ditanya tentang kunci kesuksesannya, gembala sapi itu mengatakan bahwa ia berusaha agar sapi-sapi itu dapat mengenal dirinya dengan baik. Menurutnya, kalau mereka sungguh-sungguh mengenal dirinya, mereka akan mempunyai rasa aman dalam hidup mereka. Suara yang ia teriakan untuk memanggil sapi-sapi itu akan menenangkan sapi-sapi itu. Suara-suara dari orang-orang lain hanya membuat sapi-sapi itu takut dan melarikan diri.

Dalam diri setiap orang ada potensi untuk menjadi pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin tidak diukur dari ketenarannya dalam mengumpulkan massa. Namun keberhasilannya diukur dari seberapa banyak orang yang dipimpinnya itu mengalami ketenangan dan ketenteraman dalam hidup. Seorang pemimpin yang mudah membuat resah para pengikutnya akan segera ditinggalkan. Mereka akan mencari dan menemukan pemimpin lain yang sungguh-sungguh memberikan jaminan ketenteraman bagi mereka.

Karena itu, menjadi pemimpin itu suatu panggilan hidup. Orang tidak bisa hanya mengandalkan ambisi pribadinya untuk menjadi pemimpin. Untuk itu, seorang pemimpin mesti menimba rahmat demi rahmat dari Tuhan sebagai pemimpin agung hidupnya. Kalau seseorang sungguh-sungguh memperoleh rahmat dari Tuhan untuk memimpin, ia akan selalu setia kepada Tuhan.

Sebagai orang beriman, mari kita berusaha untuk menjadi pemimpin yang memiliki hati bagi sesama. Artinya, peduli dan memiliki sikap bela rasa terhadap sesama yang dipimpin. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/menjadi-pemimpin-yang-peduli.html

Rabu, 04 Mei 2011

Tuhan Selalu Menyertai Kita

Di sebuah desa, hiduplah seorang petani yang sangat kaya. Di akhir tahun, lumbung-lumbungnya penuh dengan hasil panen. Ia merasa sudah cukup untuk hidup selama puluhan tahun dengan hasil panen yang ada dalam lumbung-lumbung itu. Karena itu, ia memerintahkan para pekerjanya untuk berhenti bekerja. Sekarang tinggal menikmati hasil jerih payah selama bertahun-tahun itu.
Suatu hari, orang kaya itu memutuskan untuk bepergian bersama istri dan anak-anaknya ke kota yang jauh dari kampung halamannya. Ia juga mengajak semua pekerjanya. Ia membawa banyak sekali bekal dalam lumbung-lumbung yang ditarik oleh banyak kuda. Makanan itu untuk kebutuhan selama perjalanan yang jauh itu. Namun salah satu lumbung yang berisi makanan yang paling penting untuk mereka ditutup sangat rapat. Lumbung itu pun tidak punya pintu, sehingga sangat sulit untuk mengambil makanan kesukaan orang kaya itu.
Sepanjang perjalanan ia sering mengumpat para pekerjanya, karena ia tidak dapat menikmati makanan kesukaannya. Ketika tiba di suatu desa, ia memerintahkan para pekerjanya untuk membongkar paksa lumbung itu. Namun mereka tidak bisa membongkarnya karena kayu yang dipakai sangat keras. Apalagi mereka tidak membawa peralatan yang memadai. Akhirnya, orang kaya itu memutuskan untuk tidak menikmati makanan kesukaannya.
Sial bagi orang kaya itu. Suatu ketika dalam perjalanan pulang, makanan kesukaan orang kaya yang ada di dalam lumbung itu habis dimakan rayap. Begitu melihat bahwa di dalam lumbung itu tidak ada apa-apa lagi, ia kecewa luar biasa. Ia menjadi sangat sedih sepanjang perjalanan pulang itu. Ia tidak menghiraukan lagi setiap kata-kata hiburan dari istri dan anak-anaknya. Wajahnya menjadi sangat murung. Ia kehilangan barang yang sangat berharga dalam hidupnya.

Manusia sering melupakan hal-hal yang terpenting dalam hidupnya. Sebagai orang beriman, kita juga sering lupa akan yang paling penting dalam hidup ini. Kita sering lupa bahwa Tuhan senantiasa menyertai kita. Dari sudut pengetahuan kita memang menyadari bahwa Tuhan itu paling penting dalam hidup kita. Namun dalam praktek hidup sehari-hari, sering Tuhan kita letakkan pada nomor terakhir.

Akhirnya, kita kehilangan Tuhan. Kita tidak menyadari lagi bahwa Tuhan itu hadir di dalam hati kita. Akibatnya, kita menjadi kecewa, murung dalam meniti kehidupan ini. Karena itu, kita diajak untuk kembali menyadari bahwa Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup sehari-hari. Tuhan tidak pernah melupakan kita meski sering kita tidak mau tahu dengan kehadiranNya dalam hati kita.

Untuk itu, kita mesti punya niat untuk senantiasa menyertakan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. Dengan demikian, kita akan mengalami kebahagiaan, karena kita selalu berjalan bersama Tuhan. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/tuhan-selalu-menyertai-kita.html

Selasa, 03 Mei 2011

Janganlah Cemas Hatimu

Seorang kaya raya suatu hari mendatangi seorang bijak. Ia meminta nasihat agar ia dapat terus-menerus mempertahankan kekayaan miliknya. Dia ingin kekayaannya itu tetap dimiliki oleh anak cucunya sampai generasi yang tak terbatas.
Orang bijak itu tersenyum menatap orang kaya itu. Baginya, tidak ada yang menjamin bahwa harta kekayaan itu akan langgeng. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Orang bijak itu sering dimintai nasihat oleh orang-orang kaya.
Lantas ia meminta secarik kertas yang lebar lalu mulai menulis: ayah meninggal, anak meninggal, cucu meninggal.

Membaca tulisan seperti itu, orang kaya itu sangat marah. Ia menghardik orang bijak itu, “Aku memintamu untuk menulis sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi keluargaku. Mengapa kamu menulis lelucon murahan seperti ini?”

Orang bijak itu tersenyum. Lalu ia menjawab, ”Lelucon ini ada tujuannya.”

Orang kaya itu masih marah. Ia tidak habis pikir, orang yang ia pandang sangat terhormat itu membuat lelucon yang aneh. Lalu ia bertanya, “Apa tujuan lelucon ini, orang bijak?”
“Kalau anakmu meninggal lebih dulu daripada Anda, pasti Anda merasa sangat sedih. Seandainya cucumu meninggal lebih dulu daripada Anda dan anakmu, tentulah Anda berdua akan sedih. Namun kalau dalam keluargamu, dari generasi ke generasi meninggal sesuai dengan urutan sebagaimana kutulis, peristiwa itu merupakan sesuatu yang normal. Saya menyebutnya kesejahteraan yang sesungguhnya.”

Dalam hidup ini ada orang yang begitu cemas akan hari esoknya. Karena itu, mereka membentengi diri dengan berbagai hal. Tujuannya agar mereka tidak kehilangan milik mereka. Kisah tadi merupakan salah satu contoh betapa orang kaya cemas akan harta kekayaannya.
Pertanyaannya, mengapa orang cemas akan hidupnya? Coba Anda pandang burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut. Apakah mereka memiliki harta yang menjadi jaminan bagi hidup mereka? Sungguh, hidup mereka tergantung dari belas kasih alam. Burung-burung itu mencari makanan di alam bebas. Setelah seharian mencari dan menemukan makanan, pada malam hari mereka tertidur pulas di pohon-pohon. Mereka tidak cemas, karena besok mereka akan bangun lagi dan menemukan makanan untuk hidup mereka.

Manusia memang bukan burung. Namun burung dapat menjadi contoh bagi kita untuk tidak cemas. Kalau Tuhan memperhatikan burung-burung di udara, tentu Tuhan juga akan memperhatikan kita. Karena itu, orang yang selalu cemas dalam hidup itu biasanya orang yang kurang percaya kepada Tuhan. Orang yang tidak menggantungkan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan. Bukankah Tuhan yang kita imani itu mahapengasih dan mahapenyayang? Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/janganlah-cemas-hatimu.html

Senin, 02 Mei 2011

Kebebasan untuk Memutuskan

Suatu pagi seorang murid berencana untuk mencobai gurunya. Pada jam istirahat, murid itu menangkap seekor belalang yang hinggap di atas bunga mawar di halaman sekolahnya.
Ia menggenggam belalang itu. Ketika bel masuk kelas berbunyi, murid itu berjalan ke arah gurunya sambil meletakkan tangan di belakangnya.
Ia berkata kepada gurunya, “Ibu, kalau sudah mendapat pencerahan oleh berbagai ilmu, tentunya ibu mengetahui belalang yang saya bawa ini. Menurut ibu, belalang yang saya bawa ini mati atau hidup?”

Ibu guru itu tersenyum mendengar kata-kata muridnya. Ia sudah hapal betul sifat muridnya yang satu ini. Ia mampu membaca rencana yang ada dalam benak murid itu. Ia memang seorang murid yang licik.

Ia sudah membuat rencana yang rapih. Kalau gurunya menjawab bahwa belalang itu mati, dia akan segera melepaskan belalang itu pergi hidup-hidup. Sebalaiknya, kalau ibu guru itu menjawab bahwa belalang itu hidup, ia akan seremas belalang itu sampai mati.
Dengan tenang ibu guru itu menjawab, “Jawabannya ada di tanganmu.”

Sering kali kesalahan dalam dunia pendidikan adalah menjawab semua pertanyaan dari para murid. Semestinya para murid diberi kebebasan untuk mengungkapkan padangan-pandangan mereka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, mereka dapat mengerti dengan lebih baik setiap persoalan yang mereka hadapi.

Kisah tadi mau mengungkapkan bahwa seorang guru yang bijaksana mampu memberi suatu jalan kepada muridnya untuk memutuskan. Ia tidak memberi jawaban ya atau tidak. Tetapi ia memberi kebebasan kepada muridnya itu untuk memutuskan mau melakukan sesuatu yang baik atau yang jahat.

Dengan cara seperti ini, seorang murid akhirnya sampai pada suatu pencerahan terhadap pikirannya sendiri. Melakukan sesuatu yang baik akan membawa dia untuk semakin menghargai kehidupan. Sebaliknya, melakukan sesuatu yang jahat membawa dia kepada kehancuran.

Kehancuran itu dimulai ketika orang mulai melakukan suatu kejahatan yang dianggap kecil. Sesuatu yang kecil itu kalau dilakukan terus-menerus akan menjadi besar dan banyak. Akibatnya, orang tidak bisa lagi menghentikan perbuatan jahat itu. Ia menjadi ketagihan untuk melakukan hal-hal yang jahat.

Mari kita berusaha memperbanyak perbuatan-perbuatan baik terhadap Tuhan dan sesama. Dengan demikian kita menjadi orang yang mengandalkan kasih di atas segala-galanya. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/kebebasan-untuk-memutuskan.html

Minggu, 01 Mei 2011

Usaha Menghindari Dosa

Pada jaman dahulu di Cina ada seorang pencuri yang sangat terkenal. Dia bisa mencuri apa saja dan tidak seorang pun bisa menangkapnya.


Suatu hari anak si pencuri itu bertanya kepadanya tentang ilmu yang dimiliki ayahnya. Pencuri itu mengabulkan permintaan anaknya. Maka pada malam harinya si pencuri itu membawa anaknya ke sebuah rumah yang besar untuk mencuri.

Tepat pada tengah malam, saat seluruh penghuni rumah tertidur pulas, si pencuri itu mengendap-endap masuk rumah bersama dengan anaknya. Kemudian si pencuri menyuruh anaknya masuk ke dalam ruangan tempat banyak pakaian dan perhiasan disimpan. Setelah anaknya masuk ke dalam ruangan, si pencuri menutup dan mengunci pintunya.
Ketika anaknnya masih ada di dalam ruangan yang terkunci, pencuri itu membuat sedikit kegaduhan, sehingga para penghuni rumah terbangun. Tetapi dia sudah lari lebih dahulu sebelum dilihat oleh mereka.
Beberapa jam kemudian anak pencuri itu pulang ke rumah. Dia sangat marah kepada ayahnya. Ia berteriak keras kepada ayahnya, “Mengapa ayah mengunci aku di dalam ruangan itu?”

Ayahnya hanya terdiam membisu. Anaknya itu lalu berkata, “Kalau aku tidak bisa mengalahkan kecemasan dan keputuasaan karena takut ditangkap, pastilah aku tidak bisa melarikan diri. Aku mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuanku untuk dapat keluar dan melarikan diri.”

Ayahnya tersenyum menatapnya dan berkata, “Anakku, kamu telah mengerti pelajaran pertama tentang mencuri. Jangan lakukan itu lagi. Itu sangat membahayakan dirimu dan dosa.”

Perbuatan-perbuatan yang jahat sering kali membuat orang cemas dan kuatir. Orang tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya. Orang selalu merasa terancam. Orang merasa selalu dikejar-kejar oleh perbuatan jahatnya itu. Perbuatan jahat meninggalkan luka mendalam dalam diri orang yang melakukannya dan juga korban.

Karena itu, perbuatan jahat itu suatu dosa yang merusak hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Relasi menjadi tidak baik. Orang hidup dalam suasana yang terancam. Orang hidup dalam situasi yang tidak damai. Keharmonisan sering menjauhi orang yang melakukan kejahatan terhadap sesamanya.

Setiap agama mengajarkan bahwa perbuatan jahat itu dosa yang mesti dihindari oleh manusia. Dosa itu membahayakan diri sendiri. Tetapi dosa juga mengakibatkan bahaya bagi orang lain. Seorang yang menaruh dendam terhadap sesamanya dapat membahayakan hidup sesamanya itu. Apalagi kalau rasa dendam itu kemudian dilampiaskan kepada sesamanya. Pasti ada korban. Dalam hal ini dosa memiliki dampak sosial terhadap orang lain. Karena itu, mari kita hentikan setiap bentuk dosa yang sering menggoda hati manusia. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/12/usaha-menghindari-dosa.html