Senin, 31 Oktober 2011

31 Oktober 2011~Tuhan Tetap Peduli

Tuhan Tetap Peduli


Di suatu kota terjadi banjir besar. Di kota itu hidup seorang yang sangat saleh. Ia sangat baik kepada siapa saja dan suka menolong mereka yang berada dalam bahaya. Karena itu, pada waktu banjir yang melanda kota itu, orang saleh itu berenang ke tempat yang dalam untuk menolong siapa saja sedapat mungkin. Air naik sampai ke pinggangnya dan masih naik juga ketika ia menolong seorang lelaki dan wanita yang terluka.

Lantas sebuah sampan datang mendekat dan salah seorang berkata kepada orang saleh itu, “Biarkan saya menyelamatkan engkau.” Tetapi orang saleh itu berkata, “Ambil dua orang ini. Tuhan akan menyelamatkan saya.” Sampan itu menjauhi orang suci itu.

Air naik sampai ke dagunya sementara orang saleh itu berjuang untuk menggapai seorang ibu dan dua anaknya. Sampan lain datang mendekat dan seorang dalam sampan itu berkata, “Mari, biarkan saya menyelamatkan engkau.”

Tetapi orang saleh itu berkata lagi, “Selamatkan orang-orang malang ini. Tuhan akan menyelamatkan saya.” Sampan itu menjauhi dia dengan memuat orang lain.

Akhirnya air naik sampai ke kepala orang saleh itu dan tidak lama kemudian dia tenggelam. Tetapi orang saleh itu menemukan dirinya berada di surga. Ketika berjumpa dengan Tuhan, orang saleh itu berkata, “Tuhan, saya selalu menjalani hidup yang baik. Saya memberi makan kepada yang lapar, menolong para tuna wisma. Saya sering berdoa dan menghantar banyak orang untuk percaya kepadaMu. Katakan kepadaku, mengapa Engkau tidak menolong saya ketika saya berada di tengah banjir itu?”

Tuhan mentatap matanya dalam-dalam lalu menjawab, “Jangan mempersalahkan Aku. Aku sudah berbuat segala sesuatu untuk menolong engkau. Bukankah Aku sudah mengirim dua sampan untuk engkau?”

Tuhan bekerja menyelamatkan kita juga melalui orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Tuhan tetap peduli kepada kita, meski kita merasa bahwa di saat-saat tertentu Tuhan sudah melupakan kita. Ternyata dengan berbagai cara Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk meraih keselamatan yang kita dambakan.

Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa Tuhan senantiasa hadir dan menyertai setiap perjuangan hidup kita di dunia ini. Karena itu, jangan takut. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita berjuang sendirian. Berbagai cara dan bentuk usaha Tuhan berikan kepada kita agar kita selamat.

Pada waktu krisis ekonomi di tahun 1997 hingga 1999 lalu kita menyaksikan begitu banyak orang kemudian berupaya untuk keluar dari kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Orang-orang yang selama itu biasanya terpinggirkan justru mengalami suatu kebangkitan. Mengapa? Karena mereka berani bertahan hidup. Mereka berani berjuang untuk kelangsungan hidup mereka. Dan perjuangan mereka itu tidak sia-sia. Harga kopi dan sahang (merica) yang tinggi waktu itu menjadikan para petani kopi dan merica yang biasanya terpuruk, bangkit lagi. Itulah cara Tuhan menyertai umatNya.

Begitu banyak kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita setiap hari. Sudahkah kita gunakan kesempatan-kesempatan itu untuk pertumbuhan iman kita, sehingga kita semakin berserah diri kepada Tuhan? Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/tuhan-tetap-peduli.html

Rabu, 26 Oktober 2011

26 Oktober 2011~Ketika Manusia Tergiur Godaan

Ketika Manusia Tergiur Godaan


Ada seorang baik hati yang ingin menunjukkan kebaikannya. Pada suatu hari dia memperhatikan kondisi malang dari seorang tukang kayu. Orang baik yang kaya itu memanggil tukang kayu yang miskin itu dan menyerahkan wewenang kepadanya untuk membangun sebuah rumah yang indah.

Ia berkata kepada tukang kayu itu, “Saya inginkan agar rumah ini menjadi sebuah rumah yang sungguh indah. Gunakan saja bahan-bahan terbaik, pekerja-pekerja terbaik dan jangan menghemat.”

Orang kaya itu mengatakan bahwa dia akan mengadakan perjalanan dan mengharapkan, agar rumah itu selesai dibangun pada saat dia kembali.

Tukang kayu itu melihat hal ini sebagai suatu kesempatan berharga yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Karena itu, dia menghemat bahan-bahan, menyewa pekerja-pekerja yang bermutu rendah dan dibayar rendah. Ia menutupi kekurangan mereka dengan cat dan memotong sudut-sudut sedapat mungkin.

Ketika orang baik yang kaya itu pulang, tukang kayu itu menyerahkan kunci rumah kepadanya. Ia berkata, “Saya telah mengikuti petunjuk tuan dan membangun rumah seperti yang tuan katakan.”

Orang kaya itu tersenyum memandangnya dan berkata, “Saya sangat senang.” Kemudian ia menyerahkan kembali kunci rumah baru itu kepada tukang kayu itu. Ia berkata, “Ini kunci-kuncinya. Inilah milikmu. Saya sudah menyuruh engkau membangun rumah untuk dirimu sendiri, engkau dan keluargamu harus memiliki itu sebagai hadiah dari saya.”

Tahun-tahun selanjutnya tukang kayu itu tidak pernah berhenti menyesal, karena telah menipu diri sendiri. Dalam rasa sesal yang mendalam, ia berkata, “Kalau saya tahu bahwa saya membangun rumah ini untuk diri saya, tentu akan jadi lain...”

Kejujuran dan kesetiaan ternyata masih menjadi barang mahal di dunia ini. Kesetiaan pada janji atau komitmen begitu mudah luntur, karena orang mudah tergiur oleh godaan-godaan. Orang tergiur untuk memiliki harta yang banyak, sehingga ia lupa akan kesetiaannya pada janji yang pernah diucapkannya. Hal ini terjadi di mana-mana di berbagai bidang kehidupan.

Dalam kehidupan berkeluarga, misalnya. Orang mudah mengingkari janji perkawinan yang telah mereka ucapkan. Cinta yang mereka ucapkan itu ternyata hanya manis di bibir saja. Setelah sekian tahun membangun hidup berkeluarga, terjadilah perselingkuhan. Suami hidup dengan perempuan lain. Istri mencari gandengan baru.

Karena itu, dibutuhkan kejujuran dalam hal-hal yang nyata. Orang mesti jujur menampilkan diri di hadapan sesamanya. Suami istri mesti tampil apa adanya. Tidak menyimpan misteri sendiri-sendiri. Kalau masih menyimpan rahasia sendiri-sendiri nanti menyesal kalau terjadi perceraian. Pepatah mengatakan bahwa sesal kemudian tidak berguna. Untuk itu, mari kita bangun kejujuran dari hati yang tulus dan bening. Bukan suatu kejujuran semu. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ













sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/ketika-manusia-tergiur-godaan.html

Senin, 24 Oktober 2011

24 Oktober 2011~Ketika Kita Berani Ubah Diri

Ketika Kita Berani Ubah Diri


Seorang mistikus yang sudah lanjut usia pernah mengatakan tentang dirinya, begini, “Ketika masih muda saya seorang revolusioner dan doaku pada Tuhan adalah Tuhan berilah saya kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika saya mencapai usia tengahan dan menyadari bahwa hidup saya sudah setengah lewat tanpa mengubah seorang pun, saya mengubah doa saya sebagai berikut, ‘Tuhan berikan aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berkontak dengan saya, anggota keluargaku dan teman-temanku; itu sudah cukup. Sekarang umur saya sudah tua dan hari-hariku sudah dapat dihitung. Saya mulai menyadari betapa bodoh saya. Sekarang saya berdoa sebagai berikut, ‘Tuhan, berikan aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri.’ Jika saya berdoa seperti ini sejak awal, saya tentu tidak menyia-nyiakan hidupku.”

Mampukah kita mengubah dunia yang semakin tidak karuan ini? Bayangkan, kini begitu banyak generasi muda yang jatuh ke dalam ketergantuan obat-obat terlarang. Free sex terjadi di mana-mana. Perselingkungan sudah menjadi kisah biasa dalam hidup sehari-hari.

Korupsi bukan hal yang baru lagi. Kurang gizi dan busung lapar masih saja terjadi di banyak tempat di negeri ini. Belum lagi bencana alam yang tiada henti melanda negeri dengan ribuan pulau yang indah-indah. Lalu apa yang mau kita ubah? Jangan-jangan kita yang terperosok ke dalam berbagai bentuk kejahatan yang ada. Jadi apakah kita mesti menyerah terhadap berbagai hal negatif yang ada di negeri kita ini?

Sebagai orang beriman, tentu kita tidak akan dan tidak mau menyerah begitu saja terhadap berbagai kebobrokan yang kita jumpai. Orang beriman itu dipanggil untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya yang rusak. Soalnya bagaimana? Mau berjuang dari mana?

Nah, dalam doa sang mistikus itu kita dapat belajar bahwa mengubah dunia itu dilakukan dari dalam diri kita. Kita mau mengubah diri kita sendiri. Dengan demikian, dengan sendirinya dunia ini dapat berubah. Kalau setiap dari kita mulai mengubah sikap-sikap kita yang tidak terpuji, lama-lama dunia ini akan menjadi suatu tempat yang aman dan damai untuk kehidupan manusia.

Ambil saja contoh, setiap dari kita mau tepat waktu. Kita mau masuk kerja di kantor atau tempat kerja tepat waktu. Ini mau kita lakukan setiap hari. Kita mau konsisten dengan komitmen yang kita buat ini. Tetapi ini mesti dilakukan dari kesadaran setiap pribadi. Kiranya dalam waktu singkat banyak pekerjaan kita tidak terbengkalai. Pelayanan kita bagi sesama juga tidak akan tertunda-tunda.

Atau contoh lain, setiap dari kita mau membuang sampai pada tempat yang sudah disediakan. Kalau dalam perjalanan di kota kita tidak menemukan tempat sampah, kita mau bawa pulang sampah kita itu sampai di rumah. Setibanya di rumah kita buang sampah tersebut pada tempat yang sudah disediakan. Kita mau tertib. Kiranya dalam waktu singkat kota kita akan bersih. Kita tidak perlu kuatir lagi, kalau nanti parit-parit tersumbat di musim hujan. Kota kita tidak akan mengalami banjir. Mau coba? Ini mengubah dari dalam diri lalu hasilnya adalah dunia sekitar bisa berubah. Setiap usaha kita untuk mengubah diri kita akan mendapat bantuan dari Tuhan yang kita imani. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/ketika-kita-berani-ubah-diri.html

Jumat, 21 Oktober 2011

21 Oktober 2011~Hadiah yang paling Indah

Hadiah yang paling Indah

 Konon, seorang pemimpin suku Indian di Amerika Serikat yang tinggal di kaki gunung hampir meninggal dunia. Pemimpin itu memanggil ketiga putranya. Ia berkata kepada mereka, “Saya hampir mati dan salah seorang di antara kamu akan menggantikan saya sebagai kepala suku. Saya menghendaki agar masing-masing kamu mendaki gunung suci kita dan membawa dari sana sesuatu yang sangat indah. Yang membawa hadiah yang paling indah, dia itulah yang cocok untuk menggantikan saya.”

Beberapa hari kemudian ketiga anak itu kembali. Yang pertama membawa sekuntum bunga yang luar biasa indah. Yang kedua membawa batu yang berwarna-warni dan sangat indah. Yang ketiga pulang dengan tangan kosong. Ia berkata kepada ayahnya, “Ayah, saya tidak membawa apapun pulang dari gunung itu. Tetapi ketika saya berdiri di atas puncak gunung, saya melihat di seberang sana sebuah tanah yang indah penuh dengan padang rumput hijau dan sebuah danau kristal. Saya mempunyai visi ke mana nanti suku kita memperoleh hidup yang lebih baik. Saya sungguh dikuasai oleh apa yang saya lihat dan oleh apa yang sedang saya pikirkan, sehingga saya tidak membawa apa-apa pulang.”

Ayahnya sangat terharu. Ia memandang anak ketiganya dan berkata, “Kaulah yang akan menjadi pemimpin baru dari suku kita, sebab engkau telah membawa pulang sesuatu yang sangat berharga, yaitu visi bagi suatu masa depan yang lebih cerah.”

Banyak orang di jaman kini hidup hanya untuk hari ini. Hidup hanya untuk sesaat. Mereka tidak berpikir bahwa besok masih ada hari yang mesti diperjuangkan. Tidak perlu memperjuangkan hari esok. Karena itu, mereka tidak perlu menabung. Menabung itu tidak berguna, karena toh kita tidak tahu apakah besok kita masih hidup atau tidak. Karena itu, nikmatilah hari ini.

Tentu saja di jaman modern ini pandangan seperti ini sudah tidak laku lagi. Orang mesti memiliki suatu visi masa depan yang baik, agar orang dapat mencapai kebahagiaan dalam hidup. Untuk itu, orang mesti memiliki suatu ketahanan dalam fisik dan spiritual. Mengapa perlu? Karena manusia mudah tergoda oleh kemajuan jaman. Manusia mudah jatuh ke dalam godaan hal-hal duniawi. Manusia mudah membiarkan dirinya dikuasai oleh godan-godaan itu.

Merencanakan hidup untuk masa depan itu mesti menjadi hal yang mutlak dalam hidup kita. Dengan demikian, orang memiliki arah hidup yang jelas. Orang memiliki fokus dalam hidup ini. Ia tidak asal melakukan apa yang dia mau atau dia sukai. Ia tidak asal mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak berguna bagi dirinya.

Namun tidak berarti bahwa kita mendahului Tuhan. Tuhan telah memberi kita kemampuan, bakat-bakat untuk mengembangkan diri kita. Maka kiranya Tuhan tidak merasa didahului, kalau kita membuat suatu rencana bagi hidup kita di masa depan. Justru Tuhan akan merasa senang melihat ciptaanNya begitu kreatif dalam mengembangkan diri.

Setiap hari kita memperoleh banyak hal baik bagi hidup kita. Karena itu, kita syukuri kebaikan Tuhan atas diri kita. Kita persembahkan kepadaNya niat, rencana kita agar masa depan kita bersinar cerah. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

Jumat, 14 Oktober 2011

Jumat,14 Oktober 2011-Ketika Tuhan Mengatakan Tidak

Ketika Tuhan Mengatakan Tidak

Seorang gadis kecil sangat senang akan bonekanya. Pada suatu hari, karena kurang hati-hati, boneka itu terjatuh dan pecah berkeping-keping. Saudaranya yang melihat hal itu tertawa terbahak-bahak. Gadis kecil itu berkata kepada saudaranya, “Tertawalah sepuasmu. Tetapi saya akan berdoa, supaya Tuhan dapat memperbaiki boneka saya.”

Mendengar kata-katanya, saudaranya malah tambah mengejeknya. Ia berkata, “Tuhan tidak akan memenuhi permohonanmu.”

Gadis itu menjawab dengan penuh keyakinan, “Mari kita bertaruh. Tuhan akan menjawab permohonanku!”

Gadis kecil itu mulai berdoa, sedangkan saudaranya keluar rumah untuk bermain. Beberapa jam lagi saudaranya masuk lagi ke dalam rumah. Ia melihat boneka itu masih tetap berkeping-keping. Lantas ia berkata, “Tampaknya engkau kalah taruhan. Tuhan sama sekali tidak menjawab doamu. Jadi bagaimana?”

Dengan penuh keyakinan, gadis itu menjawab, “Tuhan menjawab doa saya. Tetapi Dia mengatakan tidak.”

Sering kali kita berdoa kepada Tuhan dengan pikiran bahwa doa kita mesti dikabulkan. Kita memaksa Tuhan untuk mengabulkan permohonan-permohonan kita yang bahkan tidak masuk akal. Karena itu, kita menjadi kurang beriman lagi kepada Tuhan gara-gara doa yang tidak terkabulkan itu. Kita menuduh Tuhan tidak peduli terhadap doa-doa kita. Kita menuduh Tuhan pilih kasih. Kepada yang lain dikabulkan doanya, tetapi kenapa doa-doa kita tidak dikabulkan. Kita merasa Tuhan tidak adil kepada kita.

Sebenarnya doa yang baik adalah menyerahkan seluruh permohonan kita kepada Tuhan dan kita membiarkan Tuhan mengabulkan atau tidak permohonan kita itu. Terserah Tuhan. Karena itulah kebebasan dari Tuhan apakah mau mengabulkan permohonan kita atau menolak mengabulkan permohonan kita. Kita hanya mempercayakan seluruh permohonan kita kepadaNya. Kalau Tuhan mengabulkan permohonan kita, ya syukur. Kalau tidak pun, syukur.

Karena itu, doa orang beriman itu suatu doa pasrah. Namun orang beriman juga menaruh pengharapan kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan ini kepadanya. Mengapa orang mesti memiliki pengharapan? Karena kita tidak tahu apa yang Tuhan mau buat untuk kita. Kita masuk dalam alam misteri Allah. Maka yang kita buat adalah berharap kepadaNya dengan penuh iman. Biarlah Dia mendengarkan dan mengabulkan permohonan kita.


Setiap hari ini kita telah mengalami berbagai kebaikan dari Tuhan. Mungkin itu merupakan suatu pengabulan atas doa-doa permohonan yang kita panjatkan kepadaNya. Kita mengalami betapa Tuhan begitu baik kepada kita. Ia mengasihi kita melalui orang-orang yang ada di sekitar kita. Tuhan senantiasa memperhatikan kita melalui sahabat-sahabat, saudara-saudara di sekitar kita.

Karena itu, kita bersyukur atas kasih karunia Tuhan itu. Kita membiarkan Tuhan terlibat dalam seluruh hidup kita melalui orang-orang di sekitar kita. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/ketika-tuhan-mengatakan-tidak.html

Kamis, 13 Oktober 2011

Kamis,13 Oktober 2011-Memberi Secangkir Air bagi Yang Haus

Memberi Secangkir Air bagi Yang Haus

Konon suatu hari seorang kaya raya mengumpulkan semua ahli dan orang bijaksana di negerinya. Ia ingin mereka memberikan masukan mengenai pelayanan yang akan dibuat untuk rakyatnya. Ia mau semua rakyatnya hidup sejahtera, damai dan tenteram.

Dengan penuh wibawa ia bertanya kepada mereka, “Mana bentuk pelayanan terbaik dan mana saat yang terbaik untuk memberikan pelayanan bagi rakyat?”

Semua ahli dan orang bijak itu memberi berbagai macam jawaban kepada raja. Namun menurut raja, jawaban-jawaban mereka tidak memuaskan di hatinya. Semua jawaban mereka sudah hal yang biasa. Tidak ada yang baru. Jadi raja memutuskan untuk mendrop semua jawaban mereka.

Lantas suatu hari sementara berjuang melawan musuhnya di medan perang, dia sengaja memisahkan diri dari para prajuritnya dalam sebuah hutan yang lebat. Lalu dia berjalan sendirian. Tanpa seorang pengawal pun. Semakin jauh ia berjalan, ia merasa lapar dan haus yang tak tertahankan. Akhirnya ia menemukan sebuah pertapaan.

Ia masuk ke dalam pertapaan itu dalam kondisi yang lemah. Seorang pertapa tua menerimanya dengan hangat dan menghidangkan secangkir air sejuk bagi raja. Ia juga diberi makan yang secukupnya. Sesudah beristirahat di tempat tidur pertapa itu, raja itu bertanya, “Manakah pelayanan terbaik yang harus aku berikan kepada rakyatku?”

Pertapa tua itu menjawab, “Memberikan secangkir air kepada seseorang yang kehausan.”

Raja mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu ia bertanya lagi, “Kapan itu dapat diberikan?”

Dengan penuh kebijaksanaan pertapa itu berkata, “Ketika dia datang dari jauh dan kesepian, sedang mencari suatu tempat yang dapat dicapainya.”

Raja itu sangat terkejut. Ternyata pelayanan yang terbaik itu sangat sederhana. Selama ini ia selalu memikirkan pelayanan yang hebat-hebat. Tetapi pada kenyataannya rakyatnya membutuhkan hal-hal yang biasa untuk mencapai kesejahteraan, damai dan ketenteraman.

Di jaman kini banyak orang menggembar-gemborkan tentang melayani sesama. Ada berbagai usaha yang hebat-hebat dengan program yang luar biasa pula untuk melayani rakyat. Ada usaha-usaha untuk membantu pengentasan kemiskinan. Pertanyaannya, apa yang sudah dicapai melalui program yang hebat-hebat itu? Mungkin sudah banyak yang dicapai. Tetapi kenyataannya adalah masih ada begitu banyak orang yang menderita kelaparan, kurang gizi. Bahkan masih juga ditemukan adanya gizi buruk di daerah-daerah tertentu. Lalu pelayanan macam apa yang sudah diberikann untuk mengentas kemiskinan itu?

Orang yang sungguh beriman itu memberikan suatu pelayanan yang tuntas, tanpa berpikir tentang dirinya sendiri. Ia tidak memikirkan apa yang akan ia peroleh setelah memberikan pelayanan bagi sesamanya yang membutuhkan pertolongan. Mungkin yang terjadi dengan persoalan gizi buruk atau busung lapar adalah persoalan kesungguhan melayani orang-orang yang miskin. Kesungguhan itu mesti tampak dalam karya yang nyata. Kesungguhan pelayanan itu mesti tampak dalam kejujuran dan kesetiaan untuk melayani mereka yang miskin dan lemah.

Hari ini kita sudah berusaha untuk melayani sesama. Karena itu, mari kita bawa semua bentuk pelayanan kita itu dalam hidup kita. Kita ucapkan syukur dan terima kasih atas penyertaan Tuhan bagi kita. Tuhan begitu baik. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/memberi-secangkir-air-bagi-yang-haus.html

Rabu, 12 Oktober 2011

Rabu,12 Oktober 2011~Menahan Diri dari Emosi

Menahan Diri dari Emosi



Suatu siang, seorang pegawai perempuan keluar dari kantornya untuk beristirahat. Seperti biasa ia pergi ke cafetaria di seberang kantornya. Ia memberi semangkok bakso kesukaannya dan sebatang coklat.

Namun hari ini sungguh berbeda. Setelah menemukan meja kecil yang nyaman di pojok ruangan, ia beranjak untuk mencari sesuatu. Ketika duduk kembali, seorang pria duduk di seberang mejanya. Pria itu membawa secangkir teh, sebuah donat dan sedang memakan coklat yang baru dibeli perempuan itu. Lelaki itu tidak meminta maaf atau berkata apa-apa. Ia memakannya begitu saja.


Perempuan itu terperangah melihat lelaki itu sedang mengunyah coklat kesayangannya. Ia marah, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. Secepat mungkin ia menyantap baksonya. Meski begitu, semakin dalam ia memikirkan hal itu, ia pun semakin geram. Akhirnya, ia berdiri sambil mengentakkan kaki di samping lelaki itu, merebut sisa donat yang sedang dinikmati lelaki itu dan memakannya habis.

Dengan gaya yang begitu meyakinkan seolah-olah ia mau berkata kepada lelaki itu, “Rasain. Bagaimana rasanya kalau diperlakukan seperti itu?”


Beberapa saat kemudian ia kembali ke kantornya. Lelaki itu dibiarkannya terheran-heran, karena tidak tahu sama sekali apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.

Begitu tiba di kantornya, ia membuka dompetnya. Dan ia kaget setengah mati begitu melihat coklat yang dibelinya aman-aman saja di dalam dompetnya.

Kekurangtelitian dapat berakibat fatal bagi hidup manusia. Orang lain akan menjadi korban kekurangtelitian kita. Kisah tadi melukiskan seorang perempuan yang ceroboh. Ia merasa bahwa hanya dia sendiri yang menyukai makanan tertentu. Orang lain tidak menyukai kesukaannya itu. Ia keliru. Tetapi kesadarannya baru terjadi setelah semuanya terjadi. Ini yang namanya hidup tanpa refleksi. Orang tidak berpikir panjang tentang apa yang diperbuatnya.

Kurang teliti dalam hidup bisa disebabkan oleh berbagai hal. Mungkin orang seperti ini kurang menganggap penting tentang suatu hal. Ia tidak begitu peduli terhadap hal-hal yang dianggapnya sepele. Atau orang seperti ini terlalu sibuk dengan berbagai macam hal dalam kehidupannya.

Akibatnya, hal-hal yang semestinya membutuhkan perhatian lebih, diabaikannya. Orang seperti ini mesti membutuhkan buku catatan atau asisten yang bisa membantunya dalam memberikan perhatian. Atau orang seperti ini orang yang cuek terhadap berbagai hal. Yang penting baginya adalah menyenangkan hatinya. Orang lain boleh menderita atas perbuatannya. Nah, orang seperti ini mesti sadar bahwa ia tidak hidup sendirian di dunia ini. Ia ada bersama orang lain. Ia hidup juga bagi orang lain, bukan hanya bagi dirinya sendiri.

Hari ini kita mengalami begitu banyak hal baik. Artinya, begitu banyak orang peduli terhadap kehadiran kita. Apa yang mau kita katakan kepada orang-orang yang peduli terhadap kita? Kita mau mengatakan banyak terima kasih bahwa kepedulian sesama itu membantu kita untuk bertumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/menahan-diri-dari-emosi.html

Senin, 03 Oktober 2011

3 Oktober 2011-Peduli terhadap Sesama yang Berkekurangan

Peduli terhadap Sesama yang Berkekurangan

Suatu hari yang sangat dingin seorang perempuan bangsawan keluar dari istana dan mengemis. Dia mengenakan pakaian compang-camping, kerudung kepala dan membawa sebuah keranjang. Dia ingin menguji cinta kasih dari para tetangganya. Pada beberapa rumah dia diberikan barang-barang yang sama sekali tidak bernilai. Di rumah lain ia dihujani dengan kata-kata kasar. Hanya di satu tempat dia diterima dengan ramah. Dan itu adalah gubuk seorang lelaki miskin. Dia dibawa ke dalam ruang yang hangat dan diberi makanan panas.



Pada hari berikutnya, semua orang yang pernah dikunjungi perempuan itu diundang masuk ke dalam puri. Mereka dihantar oleh para pelayan menuju ruang makan yang besar. Ada kartu nama untuk para undangan itu.

Di tempat duduk masing-masing undangan diletakkan barang-barang yang sama yang telah diberikan kepada perempuan yang menyamar itu. hanya lelaki miskin itu dilayani dengan piring penuh makanan yang lezat.


Beberapa saat kemudian perempuan itu masuk ke ruang makan. Ia menjelaskan kepada para tamunya, “Kemarin untuk menguji cintamu, saya memasuki desa dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Hari ini saya melayani Anda dengan barang yang sama dengan yang telah kalian berikan kemarin kepadaku.”

Semua undangan itu sangat terkejut. Mereka merasa bersalah karena telah memperlakukan seorang bangsawan dengan kurang menyenangkan. Tetapi lelaki miskin itu bergembira, karena sudah melayani sesamanya dengan baik. Ia memberi tempat yang layak kepada perempuan itu, ketika ia membawanya ke ruang yang hangat dan memberinya makanan yang panas.


Cinta kasih yang sejati itu bersifat universal yang terbuka untuk semua orang. Berbuat baik kepada sesama itu membawa sukacita bagi yang mengalami kebaikan itu. Inilah bentuk cintakasih itu. Semua orang, pada dirinya sendiri, diberi kemampuan untuk mencintai seperti ini. Karena itu, kebaikan yang merupakan perwujudan cintakasih itu mesti menjadi bagian dari kehidupan seseorang.

Tetapi persoalannya adalah ada orang-orang yang sulit sekali berbuat baik bagi sesamanya. Mereka lebih banyak menuntut agar orang lain berbuat baik untuk mereka. Orang-orang seperti ini mesti belajar untuk memiliki kepekaan terhadap kebutuhan sesama yang hidup di sekitar mereka. Mereka dapat belajar memperhatikan sesamanya yang kekurangan yang memutuhkan bantuan dari mereka. Misalnya, memberi makan orang miskin yang ada di tetangga. Untuk itu, mereka mesti berani untuk keluar dari rumah mereka. Mereka mesti berani mengunjungi orang-orang di sekitar mereka.

Hari ini kita berjumpa dengan begitu banyak orang. Ada yang mungkin sudah memberikan bantuan kepada kita untuk kelancaran semua usaha kita. Ada yang sudah menyapa kita dengan ramah. Ada yang sudah tersenyum kepada kita. Mungkin kita juga sudah mengulurkan tangan kita untuk mereka yang kekurangan. Itulah hidup. Kita mesti saling mengasihi, karena untuk itulah kita telah dilahirkan ke dalam dunia ini.

Mari kita endapkan semua pengalaman baik kita sepanjang hari ini. Semua itu telah membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang baik. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/peduli-terhadap-sesama-yang.html