Rabu, 30 Maret 2011

Menyadari Keterbatasan Diri

Teman saya sangat senang dengan alam bebas. Waktu SD dulu, ia suka sekali naik gunung. Ia sangat menikmati suasana alam bebas di pegunungan yang ditutupi oleh hutan yang hijau. Ia dapat berlama-lama di sana. Pernah ia lupa makan. Ia lupa tidur. Ia begitu menikmati alam yang indah itu.
Namun ketika dewasa, ia tidak dapat lagi menikmati alam yang bebas nan indah. Waktunya disita oleh kesibukan kantornya. Ia lupa untuk beristirahat kalau ia sudah berada di kantor. Waktu untuk santai di rumah pun hampir tidak ada.

Suatu hari, ia didiagnosa bahwa ia mengidap tumor otak yang ganas. Ia mulai resah. Ia tidak dapat lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia hilang harapan untuk melanjutkan hidup ini.
Namun seorang temannya menasihatinya untuk tidak boleh menyerah begitu saja pada penyakit tumor ganas itu. Temannya itu menyarankannya untuk mulai memikirkan langkah-langkah yang mesti ia ambil untuk mempertahankan hidupnya.

Setelah lama berpikir, teman saya itu mengambil keputusan yang aneh. Ia mendaki gunung dengan alam yang masih asri. Ia melakukan lagi kebiasaanya dulu, ketika ia masih SD. Ia melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendaki gunung. Di atas gunung ia merasakan hidupnya begitu damai. Ia tidak dikejar-kejar oleh kesibukan kantornya. Ia merasa lepas bebas.

Enam bulan kemudian penyakit tumor ganas itu hilang. Ternyata apa yang disukainya itu dapat menyembuhkan dirinya.

Sering orang memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak dapat mereka lakukan dalam hidup ini. Ibaratnya orang yang kakinya besar, tetapi memakai ukuran sepatu yang kecil. Tentu saja hal ini tidak cocok. Orang mesti mencari sesuatu yang pas untuk hidupnya. Orang tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya.

Karena itu, orang mesti berani hidup apa adanya. Orang mesti berani menampilkan dirinya yang sebenarnya. Orang tidak perlu memoles diri dengan hal-hal yang justru dapat menjerumuskan dirinya.

Dalam kacamata orang beriman, hal ini mendorong seseorang untuk semakin menyerahkan diri kepada Tuhan yang diimaninya. Keterbatasan manusiawi kita mesti menjadikan kita semakin percaya bahwa Tuhan selalu mengasihi kita dengan segala keterbatasan yang kita miliki.

Mari kita berjuang untuk menemukan diri kita yang sebenarnya. Dengan demikian kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/menyadari-keterbatasan-diri.html

Senin, 28 Maret 2011

Mendengarkan Suara Hati

Seorang pembuat film sudah lama ingin membuat film dokumenter. Selama ini ia biasa membuat film biasa dari kisah-kisah hidup manusia atau dari novel-novel. Membuat film dokumenter merupakan impiannya sejak lama. Namun ia masih mengalami kesulitan dan belum ada yang memberi kepercayaan kepadanya.
Karena itu, ketika ada produser yang menawarinya untuk membuat film dokumenter, ia sangat gembira. Inilah saat yang baik baginya untuk menwujudkan mimpi yang sudah lama terpendam itu.
“Awalnya saya tidak percaya ada produser yang percaya sama saya. Saya tidak menyangka betapa beruntungnya saya harus mengerjakan tugas ini,” kata pembuat film itu.

Menurut informasi yang didapat, produser itu sudah lama mencari pembuat film dokumenter. Namun baru sekarang ini ia menemukan seorang pembuat film yang cocok yang mau mencerna keinginannya.

Pembuat film itu pun mengikuti kata hatinya untuk membuat film dokumenter yang ditawarkan kepadanya. Ia merasa cocok antara impiannya dan pekerjaan yang akan dilakukannya. Soal honor yang akan ia terima, pembuat film itu mengatakan ia hanya mau beramal. Ia serahkan semuanya kembali kepada produser film itu.

Dalam hidup ini orang mesti berani mengikuti suara hatinya yang baik. Suara hati itu mampu membimbing orang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik yang direncanakannya. Sebuah mimpi untuk melakukan suatu kebaikan dapat menjadi pendorong semangat seseorang dalam hidupnya.

Dalam hidup ini selalu ada begitu banyak peluang yang dapat diambil untuk hidup ini. Mengapa orang gagal menangkap peluang yang dapat membantu orang sukses dalam kehidupannya? Ada banyak alasan. Namun satu hal yang dapat dikatakan adalah karena orang tidak punya mimpi dalam hidup ini. Orang menerima begitu saja apa yang ada dalam dirinya. Orang tidak mau berjuang untuk sesuatu yang lebih dari apa yang dimilikinya.

Untuk itu, orang mesti memiliki mimpi-mimpi. Mimpi dalam hal ini bukan khayalan kosong. Tetapi yang dimaksudkan adalah suatu cita-cita yang indah yang mampu membawa seseorang pada suatu kesuksesan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, bermimpi bukan suatu tahayul. Tetapi mimpi itu mampu mendorong orang untuk mewujudkan ajaran imannya dalam hidup sehari-hari. Namun ia tidak boleh lupa bahwa Tuhan senantiasa menyertainya dalam hidup ini.

Marilah kita patrikan dalam hati kita mimpi untuk hidup baik dan sejatera. Dengan demikian kita dapat meraih sukses dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/mendengarkan-suara-hati.html

Minggu, 27 Maret 2011

Kasih itu Andalan hidup

Sepasang suami istri miskin bekerja keras untuk membiayai kuliah anak-anak mereka. Mereka begitu bangga ketika anak-anak mereka akhirnya lulus dan diwisuda. Meski orangtua tidak terpelajar dan berpakaian seadanya, pada saat wisuda anak-anak itu, mereka hadir. Mereka bangga terhadap perjuangan orangtua yang sederhana itu.
Mereka memperkenalkan orangtua mereka kepada para dosen dan teman-temannya yang lain. Saat itu, ada seorang mahasiswi dari keluarga sangat kaya. Ia memeluk orangtua miskin dari temannya itu. Ia terharu. Tidak hanya itu. Ia menangis tersedu-sedu. Ia merasakan kehangatan dari sang ibu yang sederhana itu. Kasih ibu itu seolah mengalir juga ke dalam dirinya.

Setelah memeluk kedua orangtua itu, ia berkata kepada mereka, “Ini pertama kali saya merasakan kasih dari sesama. Bapak dan ibu begitu baik. Kalian memiliki ketulusan hati. Saya tidak pernah merasakannya dari kedua orangtua saya.”
Menurut mahsiswi itu, kedua orangtuanya terlalu sibuk. Mereka punya usaha sendiri-sendiri. Mereka jarang sekali bertemu. Bahkan di rumah pun pertemuan mereka dapat dihitung dengan jari. “Saya tidak tahu apakah orangtua saya sungguh-sungguh mengasihi saya. Yang saya tahu hanya saya tidak pernah mengalami kesulitan dalam hal ekonomi. Apa saja yang saya minta pasti diberi. Orangtua saya pasti menyediakan semua kebutuhan saya.”

Meski begitu, mahasiswi itu tidak merasa bahagia dalam hidupnya. Ada yang lebih yang ia inginkan dari kedua orangtuanya. Ada yang hilang dalam hidupnya yang mesti ia temukan. Ia merasa hingga kini ia belum menemukan itu. Karena itu, ia bersyukur ada sepasang suami istri sederhana yang memiliki kasih yang tulus bagi anak-anaknya.

Ternyata hidup itu tidak hanya dicukupi oleh materi. Setiap orang butuh materi bagi hidupnya. Namun ada hal yang jauh lebih penting, yaitu kasih yang tulus. Kasih itu tumbuh melalui perhatian dan perjumpaan yang dilakukan. Kasih itu tumbuh dalam suatu relasi yang dekat. Orang tidak bisa menjalin kasih, kalau pertemuan saja jarang sekali terjadi.

Sebagai orang-orang beriman, kasih mesti menjadi andalan dalam hidup. Tanpa kasih, hidup ini tidak bernilai apa-apa. Hidup ini terasa hambar. Orang akan mudah sekali mengalami putus asa. Orang akan mengalami hidup ini tanpa makna.

Karena itu, mari kita tingkatkan relasi kasih yang semakin baik dalam keluarga kita masing-masing. Dengan kasih itu, kita ingin membangun hidup yang lebih baik. Hidup yang sungguh-sungguh menumbuhkan gairah bagi yang lain. Hidup yang selalu memperjuangkan kasih bagi semua orang yang dijumpai dalam hidup ini. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/kasih-itu-andalan-hidup.html

Kamis, 24 Maret 2011

Makna Kerja

Kini banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perempuan. Di jaman dulu, kaum perempuan sangat dibatasi dalam hal pekerjaan. Ada pekerjaan-pekerjaan yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki, misalnya memanjat pohon, menjadi sopir atau menjadi pekerja kasar. Pekerjaan seperti itu tidak boleh dilakukan oleh kaum perempuan. Bahkan dulu menjadi pemimpin dalam masyarakat pun hanya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Namun dengan munculnya emansipasi wanita, kaum perempuan mendapat tempat yang lebih banyak dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka boleh menjadi kepala desa, camat, bupati, gubernur bahkan presiden. Mereka juga bisa menjadi penunggang kuda yang handal. Mereka dapat menjadi pelaut yang gesit.

Bagi kaum perempuan, bekerja bukan saja untuk pekerjaan itu. Bekerja merupakan suatu panggilan untuk mengekspresikan kasih kepada sesama. Dengan bekerja, kaum perempuan dapat membantu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi keluarga. Kaum perempuan mengungkapkan kasih yang nyata kepada keluarganya.

Ada orang yang bekerja karena butuh penghasilan untuk kelangsungan hidupnya dan hidup orang lain. Baginya, pekerjaan merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Ada juga yang menganggap pekerjaan sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri. Siapa dirinya itu tampak dalam pekerjaannya. Dengan pekerjaan itu orang dapat menemukan pribadinya secara utuh.

Karena itu, orang yang tidak mau bekerja sebenarnya tidak menemukan identitas dirinya yang sesungguhnya. Ia belum penuh sebagai manusia. Karena pada hakekatnya manusia itu hidup dilingkupi oleh kegiatan-kegiatan. Bekerja itu bagian dari iman. Bekerja itu seni beribadah dengan cara yang lain. Melalui bekerja orang menghayati imannya dalam hidup sehari-hari.

Tuhan mengajarkan bahwa pekerjaan, tentu saja pekerjaan yang layak dan pantas, merupakan sarana untuk memberi kesaksian akan kasih Tuhan kepada manusia. Sebagai orang beriman, pekerjaan kita merupakan wujud nyata kita mengasihi Tuhan dan sesama. Orang yang kurang mengasihi Tuhan dan sesama itu biasanya tidak peduli dengan pekerjaan. Ia juga tidak peduli dengan dirinya sendiri. Ia merasa bahwa dirinya itu tidak berarti bagi orang lain.

Karena itu, mari kita terus-menerus bekerja selama kita masih diberi hidup dalam dunia ini. Kita mau mengungkapkan kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Tanpa bekerja, kita hanyalah robot yang tidak berguna. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/makna-kerja.html

Selasa, 22 Maret 2011

Belajar Bertindak Benar

Adalah seorang bernama Daniel. Ketika masih remaja ia dihadapkan pada sebuah keputusan penting. Ia ditawari mengikuti pelatihan untuk sebuah posisi penting dan sangat menjanjikan. Ia ditawari sebuah kedudukan penting di istana raja. Ia menerima tawaran itu dengan resiko ia mesti menutup mulut terhadap setiap perbuatan jahat raja terhadap rakyatnya.

Syarat ini ternyata sangat mengganggu hati Daniel. Ia dikenal sebagai seorang yang vokal. Ia biasa melontarkan kritik terhadap kebijakan raja yang bertentangan dengan kehendak rakyat. Tetapi kini ia mesti menerima tawaran itu. Artinya, ia mesti menghentikan suaranya yang vokal. Ia mesti mengunci mulutnya rapat-rapat, ketika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam istana raja.

Dalam kondisi seperti itu, Daniel tetap maju untuk menjadi staf penting raja. Ia berpikir, ia dapat memperbaiki kebijakan-kebijakan raja yang bertentangan dengan kehendak rakyat. Caranya adalah dengan menjadi staf raja. Meski cara ini sudah usang, Daniel masih mengharapkan berdaya gunanya cara ini.
Suatu kali raja meminta Daniel untuk mendatangi para petani. Ia diminta untuk mengambil hasil bumi para petani itu untuk raja. Daniel tidak mau melakukan perintah raja. Baginya, rakyat memiliki hak atas hasil usaha mereka. Jadi raja tidak bisa begitu saja mengambil hasil bumi mereka. Ia mengikuti bisikan suara hatinya. Meski raja berjanji untuk memberi insentif yang besar kepadanya, Daniel tetap tidak bergeming.

Raja pun tidak bisa berbuat apa-apa atas sikap Daniel. Raja menyerah. Sejak saat itu, raja tidak berani lagi untuk mengambil hasil bumi rakyat.

Sebagai manusia, kita juga sering berhadapan dengan situasi sulit seperti yang dihadapi Daniel. Namun satu hal yang mesti kita pegang adalah kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh perbuatan yang tidak baik. Kebenaran mesti tetap dijunjung tinggi. Kebenaran mesti menjadi mahkota bagi setiap pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Tanpa kebenaran, hidup menjadi suram. Tanpa kebenaran, semua perjuangan kita akan sia-sia belaka.

Kita mengakui bahwa dalam dunia ini ada orang-orang yang tidak peduli terhadap kebenaran. Tentu hal ini sangat disayangkan. Kebenaran mesti menjadi kunci hidup setiap orang.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk selalu memperjuangkan kebenaran dalam hidup kita. Kita mesti mulai dari hal-hal yang kecil yang ada di dalam keluarga kita. Kita belajar untuk bertindak benar terhadap sesama kita. Hanya dengan demikian kita dapat menjadi orang-orang yang benar dan jujur dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/belajar-bertindak-benar.html

Senin, 21 Maret 2011

Memiliki Ketangguhan dalam Usaha

Gempa dan tsunami Aceh boleh mendera manusia. Bahkan tsunami telah menghilangkan keluarga besarnya. Namun Nelly Nurlaila tetap tegar. Ia juga telah kehilangan usaha roti yang baru dijalani satu tahun sebelum bencana itu. Nelly bangkit dari keterpurukannya. Ia memulai usahanya dari nol.
Ia memiliki sikap positif dan tekad kuat tak ikut hanyut bersama tsunami. Kini Nelly memimpin produksi roti yang diberi nama Nusa Indah Bakery. Karyawannya sebanyak 35 orang. Produksi rotinya bisa mencapai 12 ribu hingga 15 ribu per hari. Omset per hari dari penjualan mencapai 7 juta rupiah atau sekitar 2,1 milyar rupiah per tahun.

Usaha kerasnya itu membuahkan hasil. Ia menerima anugerah Dji Sam Soe Award 2007 lalu. Ketika menghadiri ajang ini, ia berkomentar, “Seperti mimpi rasanya. Terus terang saya tak pernah terpikir untuk tampil di ajang seperti ini. Apalagi sampai menjadi pemenang.”

Rupanya ketangguhan untuk bangkit lagi setelah jatuh berkali-kali, apalagi dari sebuah musibah besar, menjadi poin plus bagi seorang pengusaha. Nelly memulai usahanya dengan kerja keras. Ia memulai usaha membuat kue sejak lulus SMA. Meski pada awalnya kesuksesan enggan menghinggapinya, ia tetap berjuang. Ia tidak menyerah pada kegagalan demi kegagalan. Ia mengubah usahanya dengan membuat roti. Meski sudah mulai tampak berhasil, tsunami akhirnya menghapus harapannya. Ia mesti mulai dari nol lagi. Dan kini Nelly berhasil meraih cita-citanya.

Ketangguhan dalam usaha itu menjadi suatu unsur yang penting dalam hidup orang-orang yang mau sukses. Dalam ketangguhan itu ada aspek keberanian. Artinya, orang berani mempertaruhkan segalanya demi meraih keberhasilan. Ada berbagai jalan baik dan halal yang ditempuh untuk meraih kesuksesan itu.

Kisah Nelly Nurlaila menjadi salah satu contoh bagi kita. Tentu Nelly tidak hanya punya ketangguhan. Di balik itu ia memiliki iman yang besar kepada Tuhan. Ia yakin, Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu tidak meninggalkan dia berjuang sendiri. Tuhan pasti terlibat dalam usaha-usahanya.

Sebagai orang beriman, ketangguhan menjadi bekal bagi kita dalam usaha-usaha meraih keberhasilan. Tentu saja kita ingin agar keberhasilan kita itu memiliki makna yang dalam bagi hidup kita. Karena itu, kita mesti selalu menghiasi hari-hari hidup kita dengan iman yang mendalam kepada Tuhan. Beriman berarti kita mau menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Kita membiarkan Tuhan terlibat dalam seluruh perjalanan hidup kita.

Mari kita berjuang dalam dunia yang penuh dengan berbagai kesulitan dan bencana ini. Kita andalkan ketangguhan yang disertai dengan rahmat Tuhan. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/memiliki-ketangguhan-dalam-usaha.html

Kamis, 17 Maret 2011

Jangan cepat putus asa

Tanggal 20 Mei 2008 yang lalu terjadi suatu peristiwa yang mengenaskan. Seorang ibu yang sedang hamil di Sumatera Utara tega minum racun maut. Ia tidak sendirian. Ia mengajak kedua anaknya untuk bersama-sama menenggak racun rumput. Ketiganya lantas menghembuskan nafas terakhir. Mereka meninggal dunia tanpa didampingi oleh suami dan ayah mereka.

Menurut keterangan, ibu dua anak itu tega menghabisi nyawanya dan nyawa kedua anaknya karena persoalan ekonomi. Hidup yang tidak mudah di jaman sekarang ini menjadi pemicu tindakan nekad itu. Suaminya hanyalah seorang buruh tani yang berpenghasilan pas-pasan. Bahkan hasil kerjanya tidak cukup untuk biaya hidup keluarganya.
Keputusasaan menghiasi hari-hari hidup ibu muda ini. Jalan pintas pun ia tempuh. Ia menenggak racun rumput yang ada di rumahnya. Kematian tragis menjadi bagian hidupnya dan kedua anaknya.

Saudara Penderitaan memang sering kita alami dalam hidup ini. Ada yang menderita karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh. Ada yang menderita karena penyakit ganas. Dalam beberapa bulan saja orang yang menderita penyakit ganas ini telah menutup mata untuk selama-lamanya. Namun ada juga sesama yang menderita karena kesulitan ekonomi. Pendapatan yang kecil sering menyebabkan orang menderita dalam hidupnya.

Tetapi pertanyaannya, apakah kita mesti menyerah pada penderitaan? Bukankah penderitaan itu adalah bagian dari hidup manusia? Bukankah manusia yang tidak pernah mengalami penderitaan adalah manusia yang semu?
Ada orang mengatakan bahwa kita mesti menjadikan penderitaan itu sebagai sahabat dalam perjalanan hidup kita. Seorang yang sakit asma, misalnya, bisa mengalami kebahagiaan dalam hidupnya kalau ia menjadikan sakitnya sebagai sahabat setianya. Ketika penyakitnya itu kumat, ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkannya. Ia berusaha untuk menyembuhkannya.

Setiap kita akan mengalami penderitaan entah sekecil apa pun. Karena itu, kita diharapkan untuk tidak putus asa, ketika susah dan derita melanda kita. Justru kita mesti memiliki semangat untuk mencari cara-cara untuk keluar dari penderitaan kita. Mungkin kisah ibu yang minum racun itu sudah mencari cara-cara untuk keluar dari persoalan ekonomi rumah tangganya. Mungkin ia kurang bersabar. Ia ingin cepat memperoleh hasil. Ketika tidak menemukan hasil yang memadai, ia tega minum racun.

Sebagai orang beriman, kita tentu ingin memiliki kesabaran dan ketekunan dalam usaha-usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup kita. Karena itu, mari kita berjuang terus-menerus. Jangan cepat putus asa. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/jangan-cepat-putus-asa.html

Selasa, 15 Maret 2011

Mendoakan Sesama yang Bermasalah

Sore itu, Ibu Marina duduk termenung di ruang tengah rumahnya. Beberapa hari ini ia agak shock. Kabar kurang baik menimpa putranya. Kabar angin mengatakan bahwa putra keduanya sedang punya masalah berat. Ia sudah mendoakan putranya itu. Ratusan doa sudah ia panjatkan. Namun kabar tentang masalah putranya semakin santer saja.

“Tuhan, bantulah anak saya. Kuatkanlah dia,” doa Ibu Marina.

Setelah beberapa saat, Ibu Marina menghampiri telephon yang berdering. Tangannya bergetar ketika mengangkat gagang telephon. Namun setelah mendengar suara putra keduanya, batinnya terasa tenang. Tangannya menggenggam erat gagang telephon.

“Ibu, masalah berat yang diberitakan menimpa saya itu sudah selesai. Sebenarnya hanya salah pengertian saja. Ibu tidak usah percaya pada kabar miring lagi,” kata anaknya.

Mata Ibu Marina berkaca-kaca. Air mata kebahagiaan kemudian meleleh membasahi wajahnya yang mulai keriput. Ia meletakkan gagang telephon itu. Lantas ia bergegas ke tempat duduknya. Ia berdoa lagi kepada Tuhan hingga malam menjemputnya.

Satu tema utama yang didoakan Ibu Marina adalah agar Tuhan mendampingi putranya yang sedang bermasalah. “Tuhan, dampingilah anak saya dan semua orang yang telah memberitakan hal-hal yang kurang baik tentang anak saya. Bantulah ia bertahan dalam kebenaran,” doa Ibu Maria sebelum menyantap santapan malam.

Apakah Anda pernah mendoakan anggota keluarga Anda atau kenalan Anda untuk tetap bertahan dalam kebenaran? Atau justru Anda ikut terlibat dalam gosip-gosip yang menjatuhkan nama baik mereka?

Kita hidup dalam suatu dunia yang begitu transparan. Informasi begitu mudah kita dapatkan tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Ada informasi yang baik. Ada pula informasi yang kurang baik yang bisa menjatuhkan nama baik sesama kita. Kita perlu menyaring semua informasi itu. Yang dibutuhkan dari kita adalah hati yang murni yang mampu melihat sebuah informasi secara netral.

Ibu Marina menjadi salah satu contoh bagi kita. Ketika mendengar berita miring tentang putranya, ia mendoakannya. Ia membawa masalah putranya itu kepada Tuhan. Ia mendialogannya dengan Tuhan. Dengan demikian ia mendapatkan peneguhan dari Tuhan. Ia tidak begitu saja percaya pada berita-berita miring. Ia sungguh-sungguh memelihara batinnya tetap baik dan murni.

Sebagai orang beriman tentu kita juga ingin agar kita mendoakan sesama kita yang berada dalam masalah berat. Kita tidak ingin menjerumuskan mereka ke dalam masalah yang lebih berat lagi. Kita ingin agar sesama kita itu dapat bangkit dari persoalan-persoalan hidup itu.

Karena itu, mari kita bawa mereka dalam doa-doa kita. Biar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang memberikan kekuatan dan kemampuan bagi mereka untuk menyelesaikan persoalan mereka. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/mendoakan-sesama-yang-bermasalah.html

Senin, 14 Maret 2011

Merasakan Kebahagiaan

Setelah Bankei meninggal dunia, seorang buta yang tinggal di dekat situ berkata kepada temannya, “Sejak aku buta, aku tidak bisa melihat wajah orang lain. Maka, aku membedakan karakter orang dari gaya bicaranya. Biasanya, kalau aku mendengar pujian orang terhadap orang lain atas suatu keberhasilan atau kebahagiaan, aku juga dapat merasakan perasaan iri hati dalam diri orang tersebut. Sebaliknya, kalau mendengar ucapan belasungkawa, aku pun mendengar suara kepuasan seakan-akan kesedihan itu membahagiakan orang yang mengucapkan ungkapan belasungkawa itu karena ada sesuatu yang hilang, tetapi dia sendiri mendapatkan sesuatu bagi dirinya sendiri.”

Kemudian, orang buta itu melanjutkan perkataannya, "Tetapi, menurut pengalamanku, Bankei selalu jujur. Kalau dia mengucapkan selamat atas kebahagiaan orang lain, tiada lain yang kudengar kecuali kebahagiaan. Kalau dia mengungkapkan belasungkawa, yang kudengar hanyalah kesedihan.”
Dalam hidup ini mata kita sering buta terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Kita sering kurang peduli. Kalau kita peduli itu biasanya karena ada sesuatu di balik itu. Kalau ada orang yang sukses dalam hidup ini sering kita mendengar suara-suara sumbang. “Akh, itu kan karena dia yang sukses itu korupsi. Atau itu kan dia dapat dari perbuatan yang tidak halal.” Jarang dengan hati yang tulus kita memuji kesuksesan seseorang. Jarang kita memberi apreciate terhadap kesuksesan seseorang.

Kisah orang buta yang dapat merasakan suasana batin melalui suara yang didengarnya. Tentu saja ia belajar untuk peka terhadap suasana di sekitarnya. Ia belajar untuk memahami suasana batin seseorang.

Tentu saja orang buta itu membuat kita malu. Mengapa kita kurang jujur dalam hidup ini? Mengapa terjadi gap antara apa yang kita ungkapan di bibir dengan apa yang ada dalam batin kita?

Melalui kisah ini kita mau diajak untuk secara jujur mengungkapkan isi hati kita. Hanya melalui kejujuran itu orang dapat menerima kehadiran kita dalam masyarakat. Hanya dengan kejujuran itu kita dapat meretas hari esok yang lebih baik.
Saudara, setiap agama mengajarkan kejujuran kepada setiap pemeluknya. Tentu saja para pendiri agama-agama itu memiliki maksud yang sangat dalam ketika mereka mengajarkan kejujuran kepada para pemeluknya. Mereka ingin agar damai dan kesejahteraan senantiasa menjadi bagian dari hidup kita. Mereka ingin agar kita menemukan hidup yang lebih baik dalam kejujuran.

Karena itu, mari kita berjuang untuk senantiasa konsisten antara apa yang kita katakan di bibir dengan apa yang ada dalam hati kita yang terdalam. Kalau kita hanya dapat berkata-kata di bibir, maka kita hanya akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan semu dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/merasakan-kebahagiaan.html

Minggu, 13 Maret 2011

Menjadi Manusia Produktif

Poppy Dharsono (56) menggelar peragaan busana, Senin, tanggal 19 Mei 2008 lalu. Kali itu tema rancangannya adalah Godess with Loves. Ia terinspirasi pada keseimbangan, yang menjadi hal utama dalam hidup. Ketenteraman itu berawal dari kesucian jiwa yang seimbang. Ia memilih kain lurik dan batik berwarna dasar coklat, hitam, dan emas.
Sebelum peragaan di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu, dia membagikan buku biografi, Poppy Dharsono: Perempuan Jawa Abad Ke-21. Tentang bukunya itu, ia berkata, "Bukan biografi 100 persen, perjalanan hidup perempuan Jawa yang termotivasi jadi orang produktif."

Ia lantas bertutur, tahun 1972 dia melakukan perjalanan sendiri ke Nepal, India, hingga Himalaya. Ia tidur bersama 15 orang bule memakai kantung tidur. Ia berkata, "Mulanya saya pakai sepatu hak dan berparfum, tapi lalu dicarikan sepatu kets. Barang-barang saya tinggal di Kathmandu.” Hari Jumat tanggal 16 Mei 2008 lalu ia mendapat Fashion Icon Award dalam Jakarta Fashion and food Festival 2008.

Sepanjang perjalanan itu ia berdialog dengan banyak orang hingga sampai pada satu pemikiran: Jadilah manusia produktif. Setelah menjadi model, perancang, lalu pengusaha, Poppy merambah jagat politik. Ia ingin menjadi manusia yang produktif. Ia ingin menghasilkan karya-karya yang berguna bagi hidupnya dan bagi bangsa dan negara.

Dalam hidup ini kita berjumpa dengan orang-orang yang memiliki cita-cita yang tinggi. Namun mereka tidak hanya menggantungkan cita-cita itu setinggi langit. Mereka mau bekerja keras untuk meraih cita-cita itu. Adakalanya mereka mesti menyingkirkan segala kesenangan sesaat. Mereka rela menderita demi tercapainya cita-cita mulia itu.

Kisah Poppy Darsono merupakan salah satu contoh orang yang ingin sukses dalam hidup. Ia rela meninggalkan kenikmatan sesaat untuk meraih sukses yang lebih baik. Ia mencapai itu. Ia menjadi salah seorang perempuan terproduktif di negeri ini. Tentu saja ia berhak meraih sukses itu, karena ia berjuang keras. Ia bekerja keras untuk itu.
Sekarang ini banyak orang menjadi manusia konsumtif. Mereka rela mengunjungi mal-mal untuk menikmati sesaat kenikmatan. Mereka rela membuang waktu untuk antri berjam-jam di counter mal-mal. Untuk apa? Untuk menikmati. Enjoy aja lagi!

Menjadi manusia produktif berarti orang ingin mengembangkan dirinya sampai semaksimal mungkin. Ada inovasi atau temuan baru yang mereka lakukan. Dengan demikian mereka dapat bertahan dalam dunia persaingan yang begitu ketat sekarang ini. Tentu hal ini berbeda dengan manusia yang konsumtif. Mereka tidak berani bersaing dalam menciptakan sesuatu yang baru. Mereka bersaing dalam konsumsi.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk ikut terlibat dalam memproduksi barang-barang kebutuhan hidup kita. Kita diajak untuk selalu melakukan inovasi atau menemukan sesuatu yang baru untuk kemajuan bangsa manusia. Karena itu, dibutuhkan suatu kerja keras dan keuletan dalam menghadapi persaingan yang begitu ketat sekarang ini. Mari kita berusaha untuk menjadi manusia produktif. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/menjadi-manusia-produktif.html

Jumat, 11 Maret 2011

Belajar Mendengar

Suatu ketika seniman Djaduk Ferianto mengajak para penonton untuk belajar mendengar, ketika dia bertindak selaku bintang tamu pada pertunjukkan kelompok musik asal Yogyakarta, Kuaetnik, di Taman Budaya Yogyakarta.

Mengapa kita harus belajar mendengar? Pria kelahiran Yogyakarta ini memberi alasan, “agar kita tetap dihargai, manusia perlu belajar untuk mendengarkan. Jangan maunya didengarkan terus.”

Menurutnya, jika tidak mau mendengar, seseorang nantinya bisa menjadi sosok yang tuli permanen.

Untuk itulah, Djaduk mengaku tidak pernah merasa bosan mengimbau para penikmat musik, agar mau belajar mendengar.

Ia berkata, “Siapa tahu di antara Anda yang menjadi pejabat publik.”

Bagi Djaduk, seorang pejabat publik mesti mau mendengarkan suara rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian ia tahu kebutuhan rakyat yang dipimpinnya itu.
Manusia yang sehat memiliki telinga yang sehat pula. Telinga itu digunakan untuk mendengarkan banyak hal untuk kepentingan hidupnya dan sesamanya. Orang yang tidak mau menggunakan telingannya untuk mendengarkan, biasanya orang yang mau seenaknya sendiri. Orang yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Biasanya orang seperti ini mau menang sendiri. Keinginannya mesti dipenuhi oleh orang lain. Ia memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Bagaimana jadinya, kalau dunia ini dihuni oleh orang-orang yang mau menang sendiri? Dunia ini pasti kacau. Dunia ini bukan menjadi tempat yang aman bagi hidup manusia. Setiap orang akan membentuk benteng sendiri-sendiri yang dijaga dengan ketat. Hasilnya adalah suatu dunia yang dipenuhi oleh sosok-sosok egois.

Ajakan Djaduk memang benar. Kita mesti belajar untuk mendengarkan orang lain. Dengan mendengarkan, kita dapat menerima banyak hal baik bagi diri kita sendiri. Kita dapat menciptakan suatu dunia yang lebih damai dan tenteram.

Sebagai orang beriman, kita memiliki batin yang mesti selalu siap mendengarkan setiap ungkapan hati sesama. Orang yang memiliki batin yang bersih biasanya siap pula untuk menyimpan setiap ungkapan dari sesamanya. Untuk itu, orang beriman mesti memiliki kesabaran dalam memasang telinga dan batinnya untuk mendengarkan dan mengolah keluh kesah sesamanya. Dengan demikian, ia mampu memberi yang terbaik bagi sesama di sekitarnya yang membutuhkan bantuannya. Ia menjadi orang yang peduli terhadap sesama.

Mari kita berusaha untuk peduli terhadap sesama dengan mampu mendengarkan sesama kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/belajar-mendengar.html

Kamis, 10 Maret 2011

Menghadapi Kesulitan dengan Hati yang Tegar

Di Jepang ada seorang tentara yang tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Pada malam itu dia tidak bisa tidur karena sangat cemas. Ia takut keesokan harinya ia akan diinterogasi dan disiksa. Sepanjang malam itu ia membayangkan hal-hal buruk yang akan menimpa dirinya.
Sepanjang malam itu ia sangat resah. Namun setelah beberapa saat ia teringat kata-kata gurunya dulu. Gurunya pernah berkata, “Besok tidak nyata. Besok hanyalah bayang-bayang semu. Satu-satunya yang nyata adalah sekarang dan di sini.”

Tentara itu menjadi semangat lagi. Ia memejamkan matanya dan ia dapat tidur dengan nyenyak malam itu. Dalam hati ia berkata, “Apa yang akan terjadi besok, terjadilah. Saya akan menghadapinya dengan lapang dada.”

Keesokan harinya, proses interogasi berjalan seperti biasa. Tentara itu dengan tegar menghadapinya. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan baik. Selang beberapa lama, tentara itu dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Ia pulang ke rumahnya dengan hati yang gembira.

Banyak orang resah dan gelisah akan hidupnya. Apalagi di jaman serba sulit seperti sekarang ini. Gaji pegawai negeri yang sebentar lagi naik membuat banyak pihak gelisah. Banyak orang tidak bisa tidur, karena hal ini. Kelanjutan dari naiknya gaji pegawai negeri adalah naiknya barang-barang kebutuhan hidup. Masyarakat kecil semakin resah akan hidupnya.

Tetapi pantaskah kita resah dan gelisah, karena naiknya harga-harga kebutuhan hidup? Bukankah hidup ini mengalir seperti air? Bukankah kita mesti menapaki hidup ini langkah demi langkah?

Hidup memang berat dalam kondisi perekonomian yang kurang begitu baik sekarang ini. Namun kita bisa bercermin pada krisis ekonomi yang terjadi sebelas tahun lalu. Ada begitu banyak usaha untuk keluar dari kesulitan hidup. Krisis yang dihadapi itu kemudian berangsur-angsur dapat diatasi.

Sebagai orang beriman, kita mesti tetap berpegang teguh pada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Tuhan senantiasa menyertai kita sejelek apapun situasi yang kita hadapi. Yang dibutuhkan dari kita adalah penyerahan diri yang total kepada Tuhan. Dalam sikap penyerahan diri yang total itu, kita juga berusaha untuk keluar dari krisis yang kita hadapi. Tuhan akan membantu kita sejauh kita juga mau berusaha untuk keluar dari kesulitan yang kita hadapi.

Karena itu, janganlah kita cemas dan gelisah. Mari kita hadapi hidup ini dengan hati yang tegar, meskipun begitu banyak persoalan yang mesti kita hadapi. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/menghadapi-kesulitan-dengan-hati-yang.html

Rabu, 09 Maret 2011

Berjalan bersama Para Kudus:10 Maret

S. Simplisius

St Simplisius dipilih menjadi paus pada tahun 468. Terkadang, tampak baginya, ia sama sekali sendirian dalam upaya meluruskan kejahatan yang merajalela. Para penakluk telah mengambil alih wilayah yang luas. Bahkan Roma sendiri telah diduduki oleh penyerang. Penduduk kelaparan dan miskin. Mereka telah dibebani pajak yang berat dan dirampok oleh para pejabat Romawi sebelumnya. Kemiskinan berkuasa di jalan-jalan dan menghalau segala sukacita. Para penakluk yang baru setidak-tidaknya tidak membebani mereka dengan pajak. Paus Simplisius mengusahakan segala daya upaya guna mengangkat taraf hidup masyarakat dan berkarya demi kebaikan mereka. Ia senantiasa ada di sana bagi mereka, tak peduli betapa kecil upaya yang dirasa dilakukannya. Dan sebab ia seorang yang kudus, ia tak pernah menyerah. Lebih dari sekedar perkataan, ia mengajar melalui teladan hidupnya yang kudus.
St Simplisius harus banyak menderita sebagai seorang paus karena suatu alasan lain juga. Sebagian dari umat Kristianinya sendiri bersikukuh berpegang pada pendapat-pendapat mereka yang salah. Lalu, dengan pilu hati, St Simplisius harus mengekskomunikasi mereka. Ia meluruskan mereka yang berbuat salah dengan kelemah-lembutan dan kerendahan hati. Simplisius melayani sebagai paus selama limabelas tahun dan sebelas bulan. Kemudian Tuhan memanggilnya untuk menerima ganjaran atas kerja kerasnya. St Simplisius wafat pada tahun 483 dan dimakamkan di Basilika St Petrus di Roma.

Adakah situasi dalam hidupku di mana aku dipanggil untuk menjadi pembangkit dan sumber semangat bagi sesama?

sumber:http://www.indocell.net/yesaya/id271.htm

Berani Menyesuaikan Diri

Suatu hari seorang lelaki jatuh ke dalam sungai yang dalam. Arus sungai itu pun sangat deras, sehingga menyeret orang itu. Lelaki itu berada dalam bahaya besar, karena sebentar lagi ia akan jatuh ke dalam air terjun yang sangat tinggi di ujung sungai itu. Jiwanya tak akan bisa ditolong.

Orang-orang yang melihat kejadian itu sangat kuatir akan keselamatan lelaki itu. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Tidak ada peralatan yang memadai untuk menolongnya. Orang pun tidak akan kuat melawan arus sungai yang deras untuk menyelamatkan lelaki malang itu.

Namun suatu keajaiban terjadi. Lelaki itu dapat selamat. Bahkan dia keluar dari bawah air terjun itu tanpa luka sedikit pun. Orang-orang di sekitar tempat itu heran, bagaimana ia bisa selamat.

Ketika ditanya, lelaki itu menjawab, “Saya menyesuaikan diri dengan air dan bukan air yang menyesuaikan diri dengan saya. Tanpa berpikir, saya membiarkan diri dibentuk oleh air itu. Saya jatuh dalam pusaran air, keluar lagi bersama pusaran air. Itulah rahasia bagaimana saya bisa selamat.”

Semua orang yang mendengarnya terkagum-kagum. Mereka tidak menyangka, kalau ia dapat selamat dari marabahaya itu.

Menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar itu sangat penting dalam hidup ini. Bagaimana pun orang yang berhasil dalam hidup itu biasanya orang-orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Artinya, orang seperti ini mampu menerima pengaruh dari luar dirinya. Orang ini mampu juga mempengaruhi lingkungan di luar dirinya.

Menyesuaikan diri tidak berarti mengikuti begitu saja arus jaman. Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya itu biasanya bersikap kritis juga terhadap lingkungannya. Ia tidak begitu saja menerima pengaruh dari luar dirinya. Ia menggunakan pengaruh dari luar dirinya untuk menemukan jurus-jurus yang ampuh bagi kemajuan dirinya.

Sebagai orang beriman, usaha kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitar berarti kita mau menerima hal-hal baik yang ada dalam diri sesama kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan hidup yang lebih baik. Kita dapat meneruskan perjuangan kita untuk hidup yang lebih baik.

Untuk itu, mari kita berani masuk dalam arus jaman kehidupan ini. Kita masuk ke dalam arus jaman untuk mengubah yang kurang baik. Kita masuk ke dalam arus jaman untuk meluruskan yang tidak benar. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/berani-menyesuaikan-diri.html

Senin, 07 Maret 2011

Indahnya Hidup Dalam Kebersamaan

Seorang gadis suka memamerkan kemampuannya di hadapan teman-temannya. Menurutnya, itulah caranya dia memperoleh popularitas. Ketika dikomentari oleh teman-temannya, ia masa bodoh. Ia tidak mau menggubris omongan mereka. Bahkan ia semakin menjadi-jadi. Ia mengatakan kepada teman-temannya bahwa ayahnya adalah seorang kaya raya yang tinggal di suatu kota. Ayahnya akan memberikan apa saja yang dia butuhkan. Dia mengatakan bahwa ayahnya akan membelikan mobil termewah. Ayahnya juga akan membeli sebuah rumah untuknya, sehingga ia tidak perlu kost lagi.

Teman-temannya terpaksa percaya, karena ia anak yang baru pindah dari kota tetangga. Gaya hidup gadis itu pun semakin tinggi. Kalau teman-temannya mengajak untuk makan di warung di pinggir jalan, ia menolak. Ia mau makan di restoran yang mahal. Akibatnya, ia semakin kehilangan teman. Dari hari ke hari teman-temannya semakin berkurang.
Suatu hari ia dikunjungi oleh ayahnya, seorang yang berpenampilan sederhana. Ayahnya hanya memakai sandal jepit kumal. Ia layaknya seorang pembantu. Ketika teman-teman gadis itu bertanya kepadanya, ia mengaku orang yang mengunjunginya itu sebagai pembantu di rumahnya. Ia malu mengakui orang itu sebagai ayah kandungnya. Namun teman-temannya semakin yakin bahwa gadis itu berbohong kepada mereka.

Akhirnya, gadis yang ingin populer itu kehilangan teman-temannya. Ia menjadi orang yang asing di tempat itu. Tidak ada yang mau bepergian dengannya.

Mencari popularitas diri bukan hal yang aneh lagi dalam dunia kita sekarang ini. Popularitas sudah menjadi obsesi dari begitu banyak orang. Bahkan di tengah situasi krisis seperti sekarang ini. Orang bahkan berani mengorbankan sesamanya demi popularitas diri itu.

Kisah gadis tadi menjadi salah satu contoh bentuk negatif dari popularitas. Karena ingin populer, gadis itu tidak mau mengakui ayahnya yang miskin. Meski secara fisik ia menerima kehadirannya, tetapi di dalam hatinya sebenarnya ia menolak kehadiran ayahnya.

Soalnya, apa yang didapat dari popularitas itu? Bukankah yang sering diperoleh adalah kepuasan semu? Semestinya yang ditemukan dalam popularitas itu adalah damai dan kesejahteraan bagi semua orang.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menciptakan damai bagi diri dan sesama. Hanya melalui kedamaian itu, kita dapat menciptakan suatu hidup yang bahagia. Mari kita bersama-sama berusaha untuk menerima setiap orang dalam hidup kita. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/indahnya-hidup-dalam-kebersamaan.htm

Kamis, 03 Maret 2011

Berusaha Hidup Jujur dan Benar

Ada seorang remaja yang pintar. Namun kepintaran remaja ini bukan dalam hal pelajaran. Ia pintar dalam hal membuat alasan. Dia pintar dalam hal kebohongan. Pada hari tertentu ia meminta kepada orangtuanya untuk membeli English Book. Besoknya ia meminta uang lagi untuk membeli Buku Bahasa Inggris.

Atau pada kesempatan lain dia meminta uang untuk membeli penggaris. Besoknya dia minta uang untuk beli mistar. Dia juga meminta uang untuk biaya ekstrakurikuler. Pada hari lain ia meminta kembali uang untuk les tambahan.

Orangtuanya sering dibuat bingung oleh anak ini. Kalau orangtuanya bertanya tentang pentingnya kebutuhannya, ia selalu mengelak. Ia selalu mengatakan bahwa hal-hal yang dia minta itu merupakan tuntutan dari sekolah. Kalau semua itu dipenuhi, ia akan menjadi anak yang paling pandai di kelasnya bahkan di sekolahnya.

Ia juga berjanji kepada orangtuanya bahwa ia akan meraih rangking teratas di sekolahnya. Dengan demikian orangtuanya tidak perlu bayar uang sekolah lagi. Ia akan mendapat beasiswa dari sekolahnya atas prestasi yang diraihnya itu.
Suatu hari, anak itu kena batunya. Ibunya mendapati anak itu sedang menghisap putau di belakang rumah mereka. Ia masih juga mau mengelak dengan memberikan berbagai alasan yang masuk akal. Namun setelah ibunya mengancam untuk melaporkannya ke polisi, ia mau menyerah. Sejak itu, ia tidak berani membuat banyak alasan lagi. Ia tidak mau berbohong lagi kepada orang lain.

Hidup ini memiliki warna-warni. Manusia mesti mengalami warna-warni kehidupan itu. Kisah tadi menunjukkan salah satu sisi dari warna-warni kehidupan ini. Yang mesti disadari oleh manusia adalah bahwa ada sisi-sisi kehidupan yang dapat membahayakan hidupnya. Ada sisi-sisi kehidupan yang mampu membawa orang kepada kebahagiaan.

Karena itu, orang mesti cermat dalam hidup ini. Orangtua mesti hati-hati terhadap anak-anaknya. Mereka semestinya tidak begitu saja menelan kata-kata anak-anaknya. Kisah tadi menunjukkan bahwa orangtua mesti waspada terhadap anak-anaknya.

Biasanya kepintaran digunakan untuk sesuatu yang baik. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kepintaran dapat digunakan untuk sesuatu yang buruk. Kepintaran dapat digunakan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Kepintaran dapat digunakan untuk menjerumuskan diri sendiri atau orang lain.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menggunakan kemampuan dan kepintaran kita untuk kesejahteraan bersama. Kita tidak ingin menggunakan kepintaran kita untuk memanipulasi atau menjerumuskan orang lain ke dalam kegelapan hidup.

Karena itu, mari kita berusaha untuk hidup jujur dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Hanya dengan hidup jujur dan benar, kita dapat menciptakan suatu hidup yang bahagia. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/berusaha-hidup-jujur-dan-benar.html

Rabu, 02 Maret 2011

Ketika Gengsi Menggerogoti Hidup

Seorang pemudi merasa malu terhadap kawan-kawan sebayanya. Pasalnya, hand phone yang dimilikinya sudah termasuk kuno. Ia ingin memiliki HP lengkap dengan kamera videonya. Soalnya, semua temannya memiliki HP seperti itu. Karena itu, ia merengek-rengek meminta HP baru kepada ayahnya.

Mendengar permintaan anaknya, ayahnya tidak mau ambil pusing. Ia mengatakan kepada anaknya bahwa dengan HP yang ada, ia dapat berkomunikasi dengan siapa saja. Itu sudah cukup. Tidak perlu bergaya dengan HP yang pakai kamera video segala.
Kata anaknya, “HP ini kan sudah kuno, pak. Sudah tidak model lagi di kalangan kaum muda. Gengsi dong pak, pakai HP ketinggalan jaman seperti ini.”

Ayanya terdiam mendengar kata-kata anaknya. Dalam hati, ia merasa bahwa HP yang lengkap dengan kamera video itu mahal. Ia tidak sanggup membelikannya. Lantas ia berkata kepada anaknya, “Nak, ayah tidak punya uang untuk membelikan HP seperti yang kamu minta. Hidup sekarang ini semakin susah. Gaji pegawai negeri akan naik lagi. Artinya, barang-barang kebutuhan hidup lainnya pun akan naik lagi.”

Tetapi anaknya tidak peduli. Ia tetap menuntut sebuah HP baru lengkap dengan kamera video. Ia tidak peduli bahwa hidup ini semakin sulit. Demi gengsi, ia tetap menuntut ayahnya untuk membelikan HP baru.

Gengsi itu memang mahal. Apa pun dilakukan orang untuk menutupi identitas dirinya. Gengsi dapat mengalahkan kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit. Orang rela bertahan untuk menunjukkan dirinya sebagai orang yang hebat dan kaya demi gengsi itu. Yang paling diutamakan adalah penampilan luar. Mengapa? Karena penampilan bisa mengubah pandangan orang tentang dirinya.

Dalam kondisi seperti ini, orang tidak malu meminjam segala sesuatu kepada temannya. Misalnya, uang, pakaian bahkan berani meminjam kendaraan mewah untuk menghadiri acara ulang tahun temannya. Orang seperti ini akan bangga bila dipuji oleh orang-orang yang melihatnya.

Sayang, di balik penampilan seperti itu sebenarnya orang dapat menghancurkan dirinya sendiri. Orang hidup dengan topeng-topeng. Orang tidak menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Akibatnya, ketika jati dirinya yang sebenarnya terungkap, ia dapat mengalami stress yang berkepanjangan.

Kehidupan ekonomi yang semakin sulit di jaman sekarang ini memaksa orang untuk bekerja lebih keras. Semestinya inilah yang ditampilkan oleh manusia dalam kehidupan ini. Bukan membangun topeng-topeng yang menutupi kekurangan dirinya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk berani meninggalkan gengsi kita. Kita diajak untuk tampil apa adanya. Hanya dengan cara demikian, kita dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh bertahan dalam iman. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/ketika-gengsi-menggerogoti-hidup.html

Selasa, 01 Maret 2011

Pentingnya Kejujuran

Seorang siswa SMA mengaku bahwa selama ujian nasional yang lalu ia mendapatkan bocoran soal. Menurut siswa ini, soal itu sudah bocor jam tujuh malam. Ia sudah mendapatkan sms tentang jawaban atas soal-soal ujian itu pada jam tujuh malam. Ia heran mengapa jawaban atas soal-soal ujian itu sudah ia peroleh dari teman-temannya.

Bagi siswa ini, sebenarnya ia tidak membutuhkan jawaban-jawaban itu. Ia hanya menghafal jawaban-jawaban itu untuk menambah rasa percaya diri saja. Ia sudah menyiapkan diri dengan baik. Namun kadang-kadang ia kurang percaya diri. Akibatnya, ia mau saja menghafal jawaban-jawaban itu.

Dia berkata, “Setelah saya hafal, saya hapus. Saya tidak mau terpengaruh oleh jawaban-jawaban itu.”
Keesokan harinya ketika ia mengikuti ujian, ia dapat menjawab semua soal yang disediakan. Ia merasa yakin dapat memperoleh nilai yang tinggi. “Memang saya merasa nilai yang saya peroleh itu tidak seratus persen berdasarkan kerja keras saya selama ini. Tetapi yang penting saya bisa melanjutkan studi saya di perguruan tinggi. Bukankah saya sudah berjuang selama tiga tahun?” kata siswa itu.

Bocornya soal-soal ujian nasional terjadi di banyak tempat di negeri ini. Sudah ada berbagai upaya untuk mengatasi hal ini. Sejak tahun-tahun sebelumnya bocornya soal sudah terjadi. Namun tampaknya sangat sulit sekali mengatasi persoalan ini. Berbagai pihak sudah mencoba. Namun usaha itu seolah sia-sia saja.

Ada berbagai pertanyaan tentang hal ini. Misalnya, ada apa di balik bocornya soal-soal ujian nasional itu? Siapa yang membocorkan? Mengapa terjadi kebocoran soal-soal itu?

Kiranya satu hal yang dapat dikatakan adalah tidak adanya kehendak baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran untuk menghilangkan hal ini. Ada pihak yang merasa malu, kalau siswa-siswi di sekolahnya ternyata tidak bisa mengerjakan soal-soal itu. Mereka takut dinilai negatif oleh pihak pemerintah. Karena itu, usaha yang dilakukan adalah membocorkan saja soal-soal itu. Atau ada pihak yang punya kepentingan ekonomi dengan menjual soal-soal itu kepada siswa-siswi yang mengikuti ujian.

Apa pun tujuan pembocoran soal-soal itu, tindakan itu tetap suatu tindakan yang tidak baik. Bagaimana mutu pendidikan di negeri ini dapat sejajar dengan negara-negara maju, kalau ketidakjujuran selalu terjadi? Tampaknya dunia pendidikan kita selalu terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bermutu rendah.

Mari kita coba mendidik anak-anak kita untuk jujur dalam berbagai hal. Hanya dengan kejujuran, kita dapat menciptakan suatu kehidupan berbangsa dan bernegara dengan lebih baik. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/pentingnya-kejujuran.html