Kamis, 28 Juli 2011

Membangun Keluarga Berlandaskan Persaudaraan

Membangun Keluarga Berlandaskan Persaudaraan



Keluarga Pak Anis tampak rukun dan bersahabat. Banyak hal mereka kerjakan bersama ketika berada di rumah. Makan malam selalu bersama. Kalau ada anggota keluarga yang belum berada di meja makan, semua yang lain menunggu. Kalau ada anggota keluarga yang sakit mereka selalu memperhatikan dengan sangat baik.

Ketika ditanya tentang kondisi keluarganya yang harmonis, Pak Anis mengatakan bahwa ia dan istrinya sudah membangun persaudaraan sejak mereka menikah. Ketika anak pertama lahir, ia dan istrinya selalu mengajarkan untuk selalu makan bersama. Persaudaraan terus mereka bangun ketika anak-anak lain lahir. Hasilnya, jarang sekali terjadi pertengkaran di dalam keluarga ini. Mereka saling mengerti dan saling mendukung cita-cita mereka.

Keluarga yang harmonis itu tidak dicapai dalam waktu yang singkat. Ada proses yang mesti dilewati oleh keluarga semacam ini. Kadang-kadang ada perselisihan kecil-kecil. Ada kalanya terjadi pertengkaran. Namun persoalan-persoalan yang ada itu bukan menjadi batu sandungan untuk menciptkan keluarga yang harmonis. Justru persoalan-persoalan yang ada itu menjadi pemacu bagi sebuah keluarga untuk mencapai cita-cita keluarga yang bahagia.

Ada banyak keluarga yang mencari jalan pintas dalam mencapai keluarga yang harmonis. Suami merasa bahwa keluarga yang harmonis itu tercapai kalau ia dapat memenuhi kebutuhan materi keluarganya. Karena itu, ia bekerja keras tanpa mengenal waktu. Ia lupa bahwa istrinya lebih ingin banyak waktu untuk duduk bersamanya. Anak-anak kurang ia perhatikan, karena kesibukannya bekerja itu. Persaudaraan yang mendalam dalam keluarga itu sulit tercipta, karena masing-masing keluarga mengurus diri sendiri.

Apa yang akan terjadi dengan keluarga seperti ini? Sedikit saja persoalan, pasti akan terjadi suatu malapetaka yang besar bagi keluarga ini. Karena itu, dalam hidup berkeluarga dibutuhkan suatu kebersamaan untuk membangun persaudaraan di antara anggota keluarga.

Setiap keluarga semestinya menjadi tempat anak-anak membangun persaudaraan yang tulus. Untuk itu, orangtua mesti menunjukkan bagaimana anak-anak dapat membangun persaudaraan yang tulus itu. Persaudaraan yang tulus itu persaudaraan yang membahagiakan semua orang. Suatu persaudaraan yang dibangun berdasarkan kehendak baik untuk membahagiakan orang lain.

Anak-anak biasanya belajar dari orangtuanya. Kalau orangtuanya tidak memiliki ketulusan dalam membangun persaudaraan dalam hidup, anak-anak juga akan mengikutinya. Kalau orangtua selalu tulus, jujur dalam membangun persaudaraan, anak-anak juga akan mencontoh. “Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya,” begitu kata pepatah. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/membangun-keluarga-berlandaskan.html

Rabu, 27 Juli 2011

Membangun Keluarga Berlandaskan Cinta

Membangun Keluarga Berlandaskan Cinta


Suatu hari seorang gadis yang tidak lama lagi melangsungkan perkawinannya bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apa yang membuat ayah begitu tahan terhadap ibu? Kan ibu itu orangnya bawel, suka marah-marah?”

Sambil tersenyum, ayahnya balik bertanya, “Apa yang kamu maksudkan? Apa yang kamu inginkan?”

Gadis itu menjawab, “Ayah kan tahu kalau calon suami saya itu orangnya punya sifat yang mirip dengan ibu. Jadi jauh-jauh hari saya mesti pasang strategi.”

Ayahnya menjawab, “Nak, setiap perkawinan itu mesti bersumber dari cinta kasih. Kalau tidak ada cinta kasih, ayah tidak akan lama bertahan hidup dengan ibumu. Ayah mencintai ibumu dan ibumu mencintai aku.”

Gadis itu bertanya lagi, “Tetapi masak ayah begitu tahan menghadapi ibu yang cerewet seperti itu?”

Sambil tersenyum, ayahnya menjawab, “Itulah cinta, nak. Inilah misteri orang saling mencintai. Bahkan kamu kan menyaksikan sendiri kalau kami juga tidak satu suku. Kami bertahan hanya karena cinta. Kami telah disatukan oleh cinta.”

Hidup manusia yang normal selalu dilandasi oleh cinta. Dan cinta itu sudah dimulai sejak dalam keluarga, ketika sepasang suami istri saling mengungkapkan cinta mereka. Orang yang kurang mendapatkan cinta dari orangtua biasanya akan mengalami kesulitan dalam hidup. Orang seperti ini akan melampiaskan kurangnya cinta itu dengan cara-cara yang kurang baik.

Cinta itu mesti ditampakkan oleh orangtua terhadap anak-anak mereka. Orangtua yang sungguh-sungguh mencintai anak-anaknya akan menjadi orangtua yang bahagia. Orangtua yang memiliki hati yang baik untuk pertumbuhan hidup baik jasmani maupun rohani dari anak-anaknya. Karena itu, keluarga mesti menjadi tempat anak-anak belajar untuk saling mencintai.

Bagi orang yang beriman, kita yakin bahwa cinta yang kita miliki itu mesti bersumber dari cinta Tuhan sendiri. Karena itu, setiap keluarga mesti membuka diri kepada kehendak Tuhan. Yang dipunyai oleh Tuhan hanyalah cinta. Tuhan menciptakan manusia dan makhluk sejagat ini karena Tuhan mencintai manusia.

Namun kita mesti mengakui bahwa di jaman serba modern ini cinta orangtua terhadap anak-anaknya sudah digantikan oleh cinta sinetron. Anak-anak diberi waktu terlalu banyak untuk nonton televisi. Padahal cinta sinetron itu cinta yang semu. Cinta tipu-tipuan. Untuk itu, keluarga-keluarga mesti mewaspadai hal ini. Jangan karena orangtua terlalu sibuk lalu kurang mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anak, buah hati mereka.

Setiap hari kita menerima begitu banyak bentuk cinta. Mari kita syukuri semua itu sebagai anugerah dari Tuhan. Kita bawa cinta itu dalam hidup kita. Dengan demikian, kita senantiasa dipenuhi oleh cinta Tuhan. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

Senin, 25 Juli 2011

Bekerja Keras untuk Meraih Cita-cita

Bekerja Keras untuk Meraih Cita-cita



Suatu hari seorang anak SD ditanya oleh ayahnya, “Nak, kalau sudah besar nanti kamu mau jadi apa?”

Serta merta anak itu mejawab, “Saya ingin menjadi orang yang popular. Saya ingin terkenal di seluruh dunia.”

Ayahnya tersenyum-senyum mendengar jawaban anaknya. Lantas ia berkata, “Nak, kalau kamu ingin terkenal di dunia, kamu harus mulai dari sekarang. Kamu harus membangun hidupmu mulai dari sekarang.”

Anak itu menjawab, “Baik, ayah. Tetapi bagaimana caranya, ayah?”

Ayahnya menjawab, “Kamu harus bangun pagi-pagi untuk belajar. Kamu harus rajin, baik di rumah maupun di sekolah. Nilai-nilai ujian yang kamu peroleh itu harus murni. Tidak boleh dari hasil nyontek. Kamu tidak boleh memaksa mamamu untuk memandikanmu lagi.”

Mendengar syarat-syarat itu, anak itu menjadi takut. Selama ini ia sulit dibangunkan di pagi hari. Selama ini ia malas belajar. Selama ini ia sering nyontek. Selama ini ia belum mau mandi sendiri. Jadi syarat-syarat itu terlalu berat baginya.

Setelah beberapa lama berpikir, ia berkata kepada ayahnya, “Ayah, lebih baik saya jadi orang yang biasa-biasa saja. Saya masih ingin menikmati hidup ini.”

Untuk menjadi orang populer itu ternyata berat. Dibutuhkan kerja keras untuk menjadi orang yang terkenal di seantero jagat. David Beckham, misalnya, mesti berlatih lima belas jam sehari untuk menjadi seorang pemain sepakbola terkenal. Yang ia petik di puncak kariernya itu sebenarnya sudah ia bangun sejak ia masih kecil.

Kita hidup dalam dunia yang menantang. Dunia terus-menerus menawarkan popularitas kepada semua orang. Pertanyaannya, apakah generasi penerus bangsa ini mampu bekerja keras untuk meraih popularitas? Menjadi tersohor atau populer itu tidak datang dengan sendirinya. Orang mesti berusaha untuk meraih cita-cita yang tinggi itu.

Sebagai orang beriman, kita semua diajak untuk senantiasa berusaha dalam meraih cita-cita kita. Orangtua yang ingin anak-anaknya berhasil dalam hidupnya mesti bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya. Untuk itu, kita butuh rahmat Tuhan yang dapat memberi kita semangat dalam usaha-usaha kita meraih cita-cita.

Setiap hari kita mendapatkan banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita syukuri semua kebaikan itu. Kita bawa hal-hal baik itu dalam hidup kita. Dengan demikian, kita memperoleh ketenangan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/bekerja-keras-untuk-meraih-cita-cita.html

Kamis, 21 Juli 2011

Menerima Sesama Apa Adanya

Menerima Sesama Apa Adanya



Suatu pagi, waktu saya masih SMA, saya disenggol oleh seorang pemabuk. Bahkan ia mengumpat-umpat saya dengan sangat kasar. Tidak hanya itu. Ia juga menampar saya dua kali. Saya sama sekali tidak tahu penyebabnya. Yang terjadi adalah saya melintas di jalan menuju rumah orangtua saya. Orang yang mabuk itu baru saja bangun dari tidur di pinggir jalan itu. Rupanya semalam suntuk ia begadang bersama teman-temannya dengan minum arak yang kadar alkoholnya sangat tinggi. Teman-temannya yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan dia sendiri tidak kuat berjalan sampai di rumahnya.

Saya sangat terkejut, ketika dia mengumpat-umpat saya. Apalagi dia sampai menampar saya dua kali. Saya tidak mau membalas, karena orang yang berada dalam keadaan mabuk berat biasanya kondisi kejiwaannya setengah sadar. Jadi saya biarkan saja. Yang saya lakukan adalah saya menuntunnya pulang ke rumahnya. Meski dia tetap mengumpat-umpat saya, saya berusaha untuk tidak membalasnya.

Rupanya sikap saya itu berhasil menenangkan orang yang mabuk berat itu. Setelah sampai di rumahnya, saya menyerahkannya ke keluarganya. Istrinya bahkan memarahinya habis-habisan. Ia tidak habis pikir, kalau suaminya masih juga mencicip arak dengan kadar alkohol yang tinggi itu. Bahkan ia mengambil sebatang kayu dan mulai memukuli suaminya.

Melihat hal itu, saya jadi heran. Saya tidak bisa mengerti. Mengapa tidak ada ampun bagi sang suami? Saya malah merasa bersalah, karena telah membawa pulang orang yang mabuk itu ke rumahnya. Kalau saja saya membiarkan dia tetap di pinggir jalan sambil hilang mabuknya, tentu dia tidak akan dipukuli istrinya. Tapi sudah terlanjur.

Dalam hidup ini bisa saja terjadi hal-hal aneh. Orang yang berada dalam keadaan lemah semestinya dibantu. Namun kadang-kadang kita menjumpai ada orang yang begitu kejam terhadap sesamanya. Ia tidak peduli bahwa yang dihadapi itu orang yang menjadi bagian dari hidupnya.

Karena itu, dibutuhkan pentingnya mengampuni dan menerima apa adanya sesama. Sering kali yang terjadi adalah kita terlalu banyak menuntut orang melakukan hal-hal yang baik untuk hidup kita. Kita tidak membiarkan orang itu melakukan sesuatu yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Kita semua menghendaki hidup ini baik dan harmonis. Namun kita juga mesti mengakui bahwa untuk sampai pada suasana seperti itu dibutuhkan suatu perjuangan. Ada kalanya usaha untuk mencapai suasana seperti itu terbentur oleh realitas yang sungguh-sungguh berbeda dengan harapan kita. Untuk itu, kita mesti menerimanya dengan lapang dada sambil berusaha untuk memperbaikinya.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita bawa semua itu dalam hidup kita hari ini. Dengan demikian, hari ini menjadi hari yang damai bagi kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/menerima-sesama-apa-adanya.html

Rabu, 20 Juli 2011

Bertumbuh dalam Kerendahan Hati

Bertumbuh dalam Kerendahan Hati


Ada seorang bernama John Bunyan. Ia anak seorang tukang patri yang miskin. Dari hari ke hari hidupnya ia rasakan tidak maju-maju. Ia bosan hidup dalam kemiskinan itu. Karena itu, ia berpikir bahwa percuma ia hidup dalam keadaan seperti itu. Ia ingin hidupnya menjadi lebih bermakna bagi dirinya dan sesamanya. Ia ingin berguna bagi banyak orang.

Karena itu, ia bertekad untuk menerima Tuhan dalam hidupnya. Caranya adalah dengan menyerahkan seluruh kemampuannya kepada Tuhan. Apa yang ia miliki itu ingin ia berikan kepada Tuhan. Ia menyerahkan kemiskinannya, kebodohan dan kelemahannya. Ia membiarkan Tuhan bekerja atas dirinya. Hasilnya, sangat ajaib. Rupanya Tuhan menggunakan John Bunyan yang miskin itu untuk menyelamatkan begitu banyak orang. John Bunyan menjadi pelayan Tuhan yang luar biasa. Orang yang biasa-biasa saja itu menjadi luar biasa dalam melayani Tuhan.

Rahasia keberhasilan John Bunyan ternyata terletak pada kerendahan hatinya. Menurut John Bunyan, kerendahan hati itu seperti sebuah lembah. Lembah itu biasanya terletak di bagian paling bawah dan pada bagian itu tanahnya subur, pohonnya banyak dan buahnya lebat. Karena itu, orang mesti bertumbuh dalam kerendahan hati. Ia akan menghasilkan banyak buah, kalau ia memiliki kerendahan hati.

Sering orang merasa diri hebat. Orang merasa bahwa dia dapat melakukan apa saja tanpa bantuan orang lain. Karena itu, ia akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan gengsi dan kesombongan dirinya. Orang merasa bahwa dengan kekuatannya sendiri ia dapat melakukan segala sesuatu.

Tentu saja pandangan seperti ini sangat keliru. Manusia itu makhluk yang serba terbatas. Manusia itu tidak bisa melakukan banyak hal, kalau orang lain tidak membantu. Manusia itu makhluk yang selalu tergantung kepada yang lain.

Karena itu, tindakan yang diambil oleh John Bunyan dalam kisah tadi sangat tepat. Ia merasa diri tidak mampu melakukan banyak hal untuk keluar dari kemiskinannya. Untuk itu, ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Ia mempercayakan seluruh hidupnya ke dalam kuat kuasa Tuhan. Ia yakin, Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu akan membantu hidupnya. Tuhan akan selalu peduli terhadap dirinya. Yang penting adalah ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan tanpa banyak persyaratan.

Sebagai orang beriman, kita mesti mendahulukan kerendahan hati di atas segala-galanya. Untuk itu, butuh suatu kesadaran yang mendalam bahwa kita ini manusia yang lemah dan tak berdaya tanpa bantuan dari Tuhan. Kita ini hanyalah makhluk yang terbatas yang dapat melakukan sesuatu yang ajaib, kalau Tuhan senantiasa memberi kekuatan kepada kita.

Karena itu, mari kita menanggalkan segala gengsi dan kesombongan diri yang berlebihan. Kita mesti berani untuk mengulurkan tangan kita meminta bantuan dari sesama kita. Kita mesti senantiasa berserah diri kepada Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang itu. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/bertumbuh-dalam-kerendahan-hati.html

Rabu, 13 Juli 2011

Berani Bekerja Keras

Berani Bekerja Keras


Adalah seorang perempuan bernama Dian Sudarjo. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, ia telah mengembangkan jaringan media massa yang luas dari majalah, televisi, radio beserta sindikasinya. Padahal seperti majalah, ia awali dengan coba-coba. Ibu dari tiga anak ini mengaku bekerja dari pukul 10.00 hingga pukul 24.00.

Dengan yakin, ia berkata, “Bisnis hanya bisa berjalan kalau kita mau tangan kita kotor. Diperlukan dirty hands dan pengetahuan akan detail.”

Untuk itu, ia bersikap tidak seperti konglomerat yang menyewa eksekutif dan mengira semuanya akan beres. Ia berkata lagi, “Tidak bisa, kita harus bekerja sendiri untuk tahu detailnya...”

Dian Sudarjo memang seorang perempuan yang mau bekerja keras untuk usaha-usahanya di bidang massmedia itu. Baginya, memiliki etos kerja yang baik menjadi andalan utama suksesnya suatu usaha. Karena itu, ia tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan para karyawannya bekerja sendiri. Ia terlibat langsung dalam usahanya. Dengan demikian, ia tidak merasa dibohongi. Ia tahu apa yang mesti ia tangani.

Banyak orang terjerumus ke dalam godaan untuk menjadi mandor atas usaha-usahanya. Ini yang sering menghambat kemajuan usaha-usahanya. Atau hal ini yang sering membuat orang tidak maju dalam usaha-usahanya. Usaha-usaha hanya berjalan di tempat.

Orang seperti ini biasanya tidak tahu banyak tentang seluk beluk usaha. Padahal dengan terjun langsung menangani usaha, orang belajar sesuatu yang baru. Orang belajar dari pengalaman bekerja itu. Dengan demikian ketika ada tantangan atas usahanya, ia tahu sungguh-sungguh apa yang mesti ia lakukan untuk menghadapi tantangan itu.

Seseorang yang memiliki kecintaan yang besar terhadap pekerjaaannya akan menuai hasil yang memuaskan. Hal ini bukan hanya kepuasan akan berhasilnya usaha yang bisa dilihat dengan mata. Tetapi juga orang mengalami kepuasan batin. Nilai rohani dari suatu pekerjaan akan mampu membawa orang pada kebahagiaan.

Karena itu, orang mesti memiliki kemauan untuk bekerja sendiri. Orang yang tidak memiliki kemauan untuk berusaha sendiri akan tenggelam dalam keterpurukan hidup. Untuk itu, dibutuhkan kerja keras. Dibutuhkan pengorbanan yang besar, kalau orang mau berhasil dalam usaha-usahanya. Orang tidak bisa hanya duduk manis saja dan mengharapkan usaha-usahanya berhasil. Dibutuhkan dirty hands, tangan yang rela untuk kotor dan dikotori oleh pekerjaannya.

Sebagai orang beriman, bekerja itu bagian dari iman. Bekerja untuk usaha sendiri itu membawa orang untuk semakin beriman kepada Tuhan. Karena itu, orang mesti berani untuk mau secara terus-menerus melibatkan diri dalam usaha-usahanya.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan. Mari kita bawa semua itu dalam hidup kita hari ini. Dengan demikian, kita menemukan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/berani-bekerja-keras.html

Selasa, 12 Juli 2011

Berusaha Mengendalikan Diri

Berusaha Mengendalikan Diri



Raynald III adalah adipati abad ke-14 di Negara yang sekarang bernama Belgia. Dia sangat tambun. Dalam suatu revolusi, Raynald III ditangkap oleh adiknya sendiri dan dipenjarakan di sebuah ruang khusus. Ruang ini tidak memiliki trali besi di jendelanya dan tidak ada kunci di pintunya. Soalnya, mengapa Raynald III tidak bisa keluar? Ternyata pintu itu sengaja dibuat lebih kecil daripada ukuran tubuhnya yang tambun itu. Dengan demikian ia tidak bisa keluar.

Namun, masih ada harapan baginya. Jika dia dapat menurunkan berat badannya, adiknya bahkan menawarkan untuk mengembalikan gelarnya dan semua kekayaannya segera setelah keluar dari ruang tahanan itu.

Sang adik berani mengajukan tawaran ini, karena dia tahu kelemahan kakaknya. Raynald sangat suka makan melebihi siapa pun di dunia ini. Setiap hari, sang adik mengirimi berbagai makanan yangg enak ke ruang Raynald.

Raynald pun bertambah tambun. Ia tidak mungkin keluar dari sel melalui pintu yang lebih kecil dari tubuhnya itu. Ia mesti menjalani hidup di dalam penjara.

Manusia sering dipenjara oleh nafsu-nafsunya. Ada orang yang begitu terikat oleh makanan yang enak-enak, sehingga dia sulit melepaskannya. Padahal orang ini mesti menjalani diet, karena berbagai penyakit yang dideritanya. Atau ada orang yang memiliki ketergantungan yang begitu tinggi terhadap rokok. Setiap saat mulutnya tidak lepas dari batang-batang rokok. Padahal ia sering batuk-batuk. Ia juga mengalami sakit jantung.

Ada juga orang yang tidak bisa lepas lagi dari minuman beralkohol. Setiap hari ia mesti minum minuman beralkohol itu. Ia sudah ketagihan. Padahal setelah mabuk, biasanya ia membuat keributan. Atau ada orang yang begitu tergantung terhadap narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya.

Orang-orang seperti ini terpenjara oleh keinginan dirinya yang berlebihan. Mereka terbelenggu oleh keinginann yang tidak bisa dikendalikan. Padahal kalau mereka bisa mengendalikan diri, begitu banyak hal baik yang bisa mereka lakukan untuk diri sendiri dan sesama.

Karena itu, dibutuhkan suatu usaha untuk mengendalikan diri dari berbagai macam keinginan yang menguasai diri. Hidup yang aman, damai dan harmonis itu tercipta, kalau orang mampu mengendalikan diri dari berbagai macam keinginan itu. Untuk itu, orang mesti berjuang untuk mengendalikan diri.

Sebagai orang beriman, usaha untuk mengendalikan diri dari berbagai macam keinginan itu mesti dilakukan dalam bimbingan Tuhan. Orang mesti berani menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Tuhan yang semestinya menguasai dirinya, bukan berbagai macam keinginan itu.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita syukuri semua itu. Kita bawa dalam hidup kita, agar damai senantiasa menyertai kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/berusaha-mengendalikan-diri.html

Senin, 11 Juli 2011

Menimba Rahmat dari Perbuatan Baik

Menimba Rahmat dari Perbuatan Baik


Waktu saya masih SD, seorang teman saya mencuri uang ayahnya sebesar seribu rupiah. Di tahun 70-an seribu rupiah itu memiliki nilai yang tinggi. Di sekolah, ia mentraktir kami. Hal ini berlangsung selama dua hari. Pada hari yang ketiga, teman saya ini membelikan kami permen. Cukup banyak. Kami mulai curiga, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?

Ketika kami bertanya tentang dari mana ia mendapatkan uang, ia mengatakan bahwa uang itu ia peroleh dari kakaknya. Tetapi kami tidak percaya. Kakaknya tidak punya pekerjaan. Ia juga putus sekolah dan nganggur saja di rumah. Karena itu, kami tidak percaya.

Setelah kami mendesak dia lalu dia mengakui bahwa ia mengambil uang itu dari saku celana ayahnya. Ia sedang tidak suka dengan ayahnya yang kurang memperhatikannya. Karena itu, ia mengambil uang itu untuk jajan. Setelah kami menasihatinya agar ia tidak melakukan lagi hal seperti itu, teman saya itu berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Ia takut kalau nanti dihukum oleh ayahnya setelah ketahuan mengambil uang ayahnya.

Sejak itu, teman saya itu berubah menjadi orang yang jujur. Ia juga tidak mau pamer lagi dengan membelikan jajan untuk kami, walau ia punya uang pemberian ibunya. “Saya kapok. Saya tidak mau melakukan hal itu lagi,” kata teman saya itu.

Suatu kebiasaan jelek akan terus bertumbuh dan berkembang kalau dilakukan terus-menerus. Seorang yang sudah merasa enak menggunakan narkoba akan menggunakannya terus-menerus. Ia tidak peduli, kalau narkoba itu akan merusak masa depannya.

Demikian pula sebuah perbuatan baik akan terus-menerus dilakukan, kalau orang merasakan bahwa perbuatan baik menyenangkan hatinya. Perbuatan baik itu dapat menjadi suatu gaya hidup. Suatu kebiasaan yang mampu memberi makna dan nilai bagi hidup seseorang. Suatu perbuatan baik akan bertumbuh dan berkembang terus-menerus, kalau hal itu bukan menjadi beban bagi hidup.

Karena itu, orang mesti berjuang untuk melakukan perbuatan baik dalam hidup ini. Perbuatan baik akan memperkaya orang dalam pergulatan hidup ini. Perbuatan baik itu akan menguatkan orang di kala ia mengalami suatu kesulitan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diundang untuk melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya. Namun perbuatan baik itu mesti dilaksanakan dengan semangat hati yang bebas. Orang tidak boleh terbelenggu dalam suasana keterpaksaan. Perbuatan yang dilakukan dengan bebas akan menjadi rahmat bagi diri dan sesama.

Setiap hari kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Kita mohon, agar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu senantiasa menguatkan perbuatan baik kita. Mari kita bawa semua perbuatan baik kita itu dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/menimba-rahmat-dari-perbuatan-baik.html

Jumat, 08 Juli 2011

Membangun Kejujuran dalam Hidup

Membangun Kejujuran dalam Hidup



Seorang pembuat roti di sebuah desa membeli mentega dari seorang petani yang juga tetangganya. Suatu hari dia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak sesuai dengan berat yang diinginkannya. Karena itu, pembuat roti itu ingin mencari tahu.

Selama beberapa hari, dia menimbang mentega itu dan mendapati bahwa setiap kali menimbang, berat mentega itu berkurang alias menyusut. Hal ini membuatnya marah dan mengajukan petani itu ke pengadilan.

Hakim berkata kepada petani itu, “Saya kira Anda memiliki timbangan.”

Petani itu menjawab, “Tidak, pak hakim.”

Tanya hakim, “Lalu bagaimana Anda menimbang mentega yang Anda jual?”

Petani itu menjawab, “Hal itu mudah saya jelaskan. Ketika tukang roti itu membeli mentega dari saya, saya pun membeli roti darinya. Nah, saya memakai roti yang katanya seberat tiga ons untuk mengukur mentega yang saya jual. Jika berat mentega itu kurang dari tiga ons, berarti dia sendiri yang disalahkan.”

Banyak hal dilakukan orang untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Timbangan bisa direkayasa untuk mengeruk keuntungan yang besar dari usaha. Atau orang berani menjual barang yang kualitas rendah dengan harga yang tinggi. Ketidakjujuran seringkali menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Kalau sampai seorang pembeli tahu akan ketidakjujuran seorang penjual, ia akan mengalami sakit hati. Apalagi ia sudah menjadi pelanggan yang setia. Ia akan beralih ke penjual yang lain. Tidak hanya itu, seorang pembeli juga akan menceritakan ketidakjujuran penjual kepada orang lain. Akibatnya, kerugian akan diderita oleh penjual. Bukan hanya oleh pembeli. Penjual itu akan kehilangan banyak pembeli.

Kejujuran semestinya dipegang teguh dalam hidup ini. Hanya melalui kejujuran orang dapat hidup tenang dan bahagia. Orang yang jujur tidak dikejar-kejar oleh kesalahan dan dosa yang dilakukannya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kejujuran selalu menjadi andalan hidup kita. Hanya dengan modal kejujuran kita akan menemukan banyak hal baik di dunia ini. Banyak orang akan menjadi teman seperjalanan hidup kita. Banyak orang akan memberikan perhatian bagi kita, karena kita jujur.

Karena itu, membangun kejujuran dalam hidup sangat berguna bagi hidup kita. Ketidakjujuran hanya akan menyakiti hati kita. Ketidakjujuran membuat tidak tenang dalam hati kita.

Setiap hari kita menerima banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita gunakan semua itu untuk membangun hidup yang jujur. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/membangun-kejujuran-dalam-hidup.html

Kamis, 07 Juli 2011

Kejujuran Itu Membahagiakan

Kejujuran Itu Membahagiakan


Ada seorang bendahara yang jujur. Ia hidup dari gaji yang ia peroleh dari pekerjaannya sebagai bendahara di suatu kantor. Ada usaha-usaha dari teman-temannya untuk meminta tambahan tip setiap kali penggajian. Ada banyak janji dari teman-temannya untuk memberi dia bagian juga, kalau mereka diberi tip itu. Tetapi bendahara itu selalu menolak. Alasannya, hal itu tidak sesuai dengan peraturan dan hati nuraninya.

Suatu hari salah seorang anaknya sakit keras. Gajinya tidak cukup untuk ongkos perawatan anaknya itu. Ia pun tergoda oleh uang yang banyak di kas di kantornya. Setelah diberitahu oleh istrinya tentang anaknya yang sakit keras itu, ia memutuskan untuk mengambil sejumlah uang dari kas kantornya untuk ongkos perawatan anaknya. Ia membawa pulang uang itu. Ia sangat hati-hati, supaya tidak ada teman-teman sekerjanya nengetahui perbuatannya.

Tetapi di tengah perjalanan menuju rumahnya, bendahara itu merasa tidak enak. Suara hati nuraninya menegurnya dengan keras, “Kembalikan uang itu. Itu bukan milikmu.” Ia berjuang keras untuk melawan suara hatinya. Tetapi ia tidak mampu. Dengan hati yang agak kecewa, ia kembali lagi ke kantornya. Ia mengembalikan uang itu ke kas kantornya. Setelah itu, ia pulang ke rumahnya. Ia merasa damai. Ia merasa tenang.

Namun begitu sampai di rumah, ia menyaksikan anaknya yang sedang sekarat karena demam tinggi. Ia menggendong anaknya. Ia memeluknya. Lalu ia berdoa, “Tuhan, saya serahkan anak ini kepadaMu. Tuhan mau apakan anak ini, terserah.” Seketika itu juga anak itu sembuh. Ia tidak harus membawa anak itu ke rumah sakit. Demamnya tiba-tiba hilang.

Orang yang jujur akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Kisah di atas menunjukkan bahwa dalamm kondisi apa pun orang mesti jujur terhadap dirinya sendiri. Bendahara itu mengakui keterbatasan dan kekurangannya. Karena itu, ia menyerahkan keterbatasan dan kekurangannya itu kepada Tuhan. Harapannya pada Tuhan menjadi kunci kebahagiaannya. Anaknya yang sakit keras dapat sembuh kembali. Ia tidak perlu kehilangan anaknya.

Dalam hidup sehari-hari sering orang beriman ditantang untuk tetap hidup jujur. Ada begitu banyak godaan yang mendatangi orang yang jujur. Namun orang beriman mesti menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Artinya, orang menaruh harapannya hanya pada Tuhan. Ia yakin, Tuhan akan mampu memberikan yang terbaik bagi hidupnya.

Mampukah Anda menaruh harapan Anda hanya pada Tuhan semata? Kalau Anda berani menaruh harapan Anda pada Tuhan semata, yakinlah kebahagiaan akan senantiasa menaungi Anda. Karena itu, sebagai orang beriman, mari kita mengandalkan Tuhan dalam hidup kita. Dengan demikian, damai dan kebahagiaan selalu menjadi bagian hidup kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ


sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/01/kejujuran-itu-membahagiakan.html