Senin, 30 Januari 2012

Mendamba Kehidupan yang Damai, Tenteram, Aman






Seorang raja muda ingin menjadi orang baik, bijaksana dan memerintah rakyatnya menurut kehendak Tuhan. Dia mengumpulkan semua orang paling bijaksana dari seluruh kerajaan dan memerintahkan mereka untuk mengumpulkan semua kebijaksaan ke dalam buku-buku. Dengan demikian dia dapat membaca dan belajar sendiri bagaimana memerintah dengan baik.

Orang-orang bijaksana itu segera memulai pekerjaan raksasa itu. Sesudah tiga puluh tahun pekerjaan itu baru selesai. Satu barisan unta panjang membawa lima ribu jilid buku berjalan menuju istana. Pada saat itu, raja sudah berusia lima puluh tahun. Ia dipenuhi dengan banyak tugas dan rencana. Dia melihat unta-unta yang bermuatan buku-buku dan berkata, “Saya terlalu sibuk untuk membaca begitu banyak buku. Bawa semua buku ini kembali dan ringkaskan lagi untuk saya.”

Pekerjaan meringkaskan buku-buku itu memakan waktu lima belas tahun. Lantas orang-orang bijaksana itu dengan bangga menghasilkan lima ratus jilid. Ketika mereka menyerahkan kepada raja, ia berkata, “Masih terlalu banyak. Lima puluh cukup.”

Saat itu, banyak orang bijaksana telah meninggal dunia. Tetapi para pengganti mereka meneruskan karya itu. Dalam waktu sepuluh tahun mereka membawa lima puluh buku kepada raja.

Pada saat itu raja sudah tua dan kelelahan. Raja berkata, “Kamu harus dapat meringkaskannya ke dalam satu buku.”

Mereka dapat menyelesaikannya dalam waktu lima tahun. Tetapi ketika mereka membawa buku yang sangat berharga itu kepada raja, itu sudah terlambat. Raja sudah terbaring di dalam ranjang kematiannya.

Suatu pekerjaan yang bernilai akan lebih bernilai lagi kalau memiliki tepat guna. Sering kali orang menciptakan sesuatu yang bernilai harganya, tetapi hanya bisa disimpan untuk dirinya sendiri. Benda itu kemudian karat dan hancur oleh waktu. Tidak berguna bagi kehidupan manusia.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita ingin menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita. Kita ingin menciptakan damai, kerukunan dan ketenangan di tengah-tengah masyarakat. Kita yakin, melalui tiga hal ini kita dapat mencapai cita-cita membangun keluarga yang harmonis, aman, sejahtera dan tenteram.

Coba Anda bayangkan, kalau di sekitar Anda selalu terjadi keributan. Misalnya, selalu saja ada orang yang mabuk. Pasti Anda merasa tidak senang. Pasti Anda merasa terganggu oleh teriakan-teriakan orang yang mabuk di malam hari. Padahal di saat-saat seperti itu Anda sangat membutuhkan waktu untuk beristirahat dari segala kelelahan sepanjang hari.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk menciptakan suatu kehidupan yang damai, tenteram, aman di sekitar kita. Untuk itu, orang berimanlah yang pertama-tama mesti menunjukkan keimanannya dengan hidup yang baik. Misalnya, selalu peduli terhadap lingkungan sekitar, selalu mau ikut berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

Kalau hal-hal ini dilakukan, kehidupan yang lebih baik akan dapat tercapai. Orang berimanlah yang mesti memulainya dari lubuk hatinya yang terdalam. Mari kita bawa cita-cita kita untuk memiliki masyarakat yang baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/mendamba-kehidupan-yang-damai-tenteram.html


Kamis, 26 Januari 2012

Berusaha Tetap di Jalan yang Benar





Sudah lama seorang pemuda mengembara di sebuah hutan yang sangat lebat. Ia dapat menikmati indah dan nyamannya hutan. Suatu hari, ia ingin keluar dari hutan itu. Ia berkata dalam hati, “Sekarang saya yakin untuk menemukan jalan yang benar untuk keluar dari hutan ini.”

Namun hari itu ia tidak menemukan jalan keluar. Setelah berhari-hari mencari jalan keluar, ia tidak juga menemukan jalannya. Ia hampir putus asa. Namun di waktu malam ia melihat nyala obor yang berada jauh di depannya. Cahaya obor itu makin lama makin mendekat kepadanya. Dan akhirnya ia bertemu dengan orang yang membawa obor itu.

Awalnya pemuda itu merasa cemas. Ia takut kalau-kalau orang yang ia jumpai itu seorang perampok yang bermaksud merampas barang-barang miliknya. Meski begitu, ia berani bertanya kepada orang itu. “Saudara, maukah Anda mengatakan kepada saya jalan keluar dari hutan ini? Saya telah mengembara di dalam hutan ini beberapa minggu. Namun waktu saya mau keluar, saya tidak dapat menemukan jalan keluar,” kata pemuda itu.

Orang itu berkata kepadanya, “Saudara, saya juga tidak tahu jalan keluar, sebab saya juga tersesat. Tetapi inilah yang dapat saya katakan. Jangan lewati lagi jalan yang telah saya lalui ini. Sebab saya tahu bahwa itu bukan jalan keluar. Sekarang, marilah kita mencari bersama-sama jalan keluar dari hutan ini.”

Kadang-kadang orang tersesat dalam perjalanan. Pepatah kuno mengatakan, jangan malu bertanya, kalau Anda tersesat di jalan. Soalnya, mengapa orang bisa sesat di jalan? Ada banyak sebab. Mungkin orang sungguh-sungguh tidak tahu jalan yang benar. Mungkin ada orang yang kurang punya daya ingat tentang jalan. Akibatnya, setiap kali melewati jalan yang sama ia selalu tersesat. Atau ada juga yang kurang punya perhatian. Yang penting lewati saja suatu jalan.

Nah, kalau mau tidak tersesat, orang mesti memiliki strategi-strategi. Misalnya, menghafal tanda-tanda yang ada di jalan tersebut atau menghafal rumah-rumah yang ada di sekitar jalan itu. Atau membawa peta dalam kendaraan atau di saku baju.

Sebagai orang beriman, kita kadang-kadang juga tersesat. Kita tidak mengikuti ajaran agama yang sudah kita pelajari. Akibatnya, kita jatuh ke dalam dosa. Kita mudah tergoda oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Untuk itu, kita butuh rambu-rambu.

Setiap hari kita sudah berjuang untuk tetap setia kepada Tuhan. Kesetiaan itu menjadi sangat bermakna, kalau kita tetap berada di jalan Tuhan. Kita tidak menyimpang ke jalan lain yang menjerumuskan kita. Karena itu, mari kita bangun hati yang bersih, agar kita tetap setia kepada Tuhan yang kita sembah. Tuhan selalu setia kepada kita dengan melindungi kita dari marabahaya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/berusaha-tetap-di-jalan-yang-benar.html


Berlaku Adil terhadap Sesama

Berlaku Adil terhadap Sesama



Seorang tukang permata yang miskin, tetapi jujur dipenjarakan atas tuduhan kejahatan yang pernah dibuatnya. Dia ditempatkan di dalam sebuah penjara yang tinggi dan ketat terlindung di tengah pusat kota. Pada suatu hari, ketika dia sudah dipenjarakan berbulan-bulan, istrinya datang ke gerbang utama. Wanita itu mengatakan kepada para penjaga tentang suaminya, tukang permata yang miskin tetapi sangat saleh dan seorang pendoa. Dia akan hilang tanpa tikar sembahyangnya yang sederhana. Tidakkah mereka mengijinkan dia untuk memiliki satu-satunya harta ini? Para penjaga setuju, karena itu tidak merugikan dan memberikan kepadanya tikar sembahyang. Lima kali sehari dia membuka tikarnya dan berdoa.

Banyak minggu telah berlalu. Pada suatu hari tukang permata itu berkata kepada para penjaga, “Saya bosan duduk saja di sini dari hari ke hari tanpa berbuat sesuatu. Saya seorang tukang permata yang trampil. Bila tuan-tuan membiarkan saya memiliki potongan-potongan logam dan beberapa alat sederhana, saya akan membuat untuk Anda permata. Tuan-tuan dapat menjual itu di pasar untuk menambah gaji tuan-tuan yang rendah. Saya hanya meminta sedikit saja, sekedar mengisi waktu luang dan tetap mempertahankan ketrampilan saya.”

Para penjaga itu setuju. Hari-hari berlalu, menjadi minggu dan bulan. Pada suatu pagi yang cerah, ketika para penjaga sampai pada sel tukang permata, ternyata sel itu kosong. Tidak ditemukan tanda bagaimana dia dapat meloloskan diri. Beberapa waktu kemudian, penjahat yang sesungguhnya dipenjarakan. Tuduhan terhadap tukang permata itu memang palsu.

Pada suatu hari, di pasar kota, lama sesudah pelarian diri si tukang permata, salah seorang penjaga bertemu dengan mantan narapidana: tukang permata itu. Segera petugas penjara itu menjelaskan bahwa penjahat yang sebenarnya sudah tertangkap. Kemudian dia bertanya kepada tukang permata bagaimana dia dapat meloloskan diri. Tukang permata itu menceritakan kisah yang menarik.

Istrinya sudah pergi kepada arsitek utama yang merancang pembangunan penjara. Istrinya memperoleh dari arsitek itu denah pintu-pintu dan kunci-kunci sel. Kemudian denah itu disulam pada tikar sembahyang. Setiap hari ketika dia berdoa, kepalanya menyentuh denah itu. Perlahan, dia mulai melihat bahwa di dalam denah yang satu dan yang lainnya, ada rancangan kunci pintu selnya. Dari sisa-sisa logam dan dengan alat-alat sederhana, dia membentuk sebuah kunci dan melarikan diri. Penjaga itu sangat tercengang mendengar kisah itu. Luar biasa akal sang tukang permata.

Dari kisah ini kita diajarkan betapa manfaat kreatifitas dapat mengubah hidup manusia. Orang yang tidak bersalah mesti dilepaskan dari hukuman. Namun karena hukum tidak fair, maka orang yang tidak bersalah mesti menggunakan kelihaiannya untuk membebaskan diri.

Kita semua dipanggil untuk membebaskan diri dan sesama yang tidak bersalah dari kecurangan dan ketidakadilan yang sering terjadi di dunia ini. Tugas orang beriman adalah menegakkan keadilan bagi hidupnya dan bagi sesama. Pertanyaanya, sudahkah kita memperjuangkan kebenaran selama hari ini? Atau apakah kita terlibat dalam ketidakadilan terhadap sesama? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/berlaku-adil-terhadap-sesama.html

Rabu, 25 Januari 2012

Berani Menyerahkan Diri

Berani Menyerahkan Diri


Ada seorang anak yang terperosok ke dalam sebuah danau. Ia berjuang mati-matian untuk keluar dari danau itu. Di tepi danau itu berdiri ibunya yang berteriak histeris. Ibunya sendiri tidak bisa membantunya, karena tidak bisa berenang. Ia ketakutan melihat anaknya yang masih berusia lima tahun itu meronta-ronta dari tengah danau itu.

Di samping ibu itu berdiri seorang lelaki kuat yang tampak acuh tak acuh terhadap keselamatan anak itu. Berulang kali ibu itu meminta lelaki itu untuk menyelamatkan anaknya, tetapi dia tetap tidak bergerak sedikit pun. Beberapa saat kemudian perjuangan anak itu mulai berkurang. Tenaganya mulai habis. Akhirnya, ia kehilangan tenaga dan muncul di permukaan air dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Pada saat itu, lelaki itu melompat ke dalam kolam itu dan menyelamatkan anak itu.

Ibu itu terheran-heran. Mengapa lelaki itu baru turun di saat anaknya sudah tidak berdaya? Setelah air dikeluarkan dari perut anaknya dan anaknya dapat bernafas kembali, ibu itu mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan lelaki itu.

Namun di dalam hati ibu itu masih tersimpan rasa penasaran. Ia pun bertanya, “Mengapa engkau tidak lebih cepat menyelamatkan anak saya?”

Lelaki itu menjawab, “Nyonya, saya tidak dapat selamatkan anakmu selama dia masih berjuang. Dia akan menenggelamkan kami berdua. Tetapi ketika dia semakin lemah dan berhenti berjuang, maka mudah bagi saya untuk menyelamatkannya.”

Ibu itu mengangguk-angguk, meski ia tidak dapat mengerti maksud lelaki itu. “Apa artinya berhenti berjuang baru bisa diselamatkan?” tanya ibu itu dalam hatinya.

Ketika orang masih bisa berjuang, ia tidak dapat menyerahkan hidupnya, nasibnya ke tangan orang lain. Perjuangan untuk mencapai sesuatu sering juga menyingkirkan orang lain. Atau suatu perjuangan untuk menggapai sesuatu dalam hidup dapat juga menjerumuskan sesama. Orang yang mau berjuang sendiri juga tidak akan menghasilkan banyak hal.

Karena itu, orang mesti berani menyerahkan hidup kepada sesama untuk dibantu agar dapat meraih kesuksesan dalam hidup. Orang yang ingin dibantu mesti percaya kepada orang yang dimintai bantuan itu. Kepercayaan itu penting artinya bagi yang membantu, karena ia akan membantu dengan segenap hati.

Bagi orang-orang beriman, penyerahan diri kepada Tuhan secara total menjadi suatu tuntutan yang mesti dijalani. Orang beriman mesti berani mempercayakan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan itu segalanya bagi orang beriman. Tuhan mampu menyelamatkan orang dari kemalangan hidupnya. Hanya Tuhan yang dapat memberi petunjuk yang jelas kepada manusia.

Sadar atau tidak, hari ini kita sudah berusaha untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Kita merasa diri sebagai orang-orang yang tidak berdaya. Kita adalah makhluk yang terbatas. Karena itu, kita meminta bantuan dari Tuhan. Kita yakin, hanya Tuhan yang mampu memberi kita pertolongan.

Karena itu, mari kita serahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, Sang Penolong sejati kita. Jangan tergoda oleh berbagai tawaran dunia yang menggiurkan yang sering membuat kita tidak berdaya. Kalau kita mau Tuhan membantu perjalanan hidup kita, kita mesti pasrah secara total kepadaNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/berani-menyerahkan-diri.html

Selasa, 24 Januari 2012

Mensyukuri Anugerah Tuhan

Mensyukuri Anugerah Tuhan




Ada seorang pemuda yang sedang mendalami hidup spiritual. Ia mendatangi seorang pertapa yang terkenal di kotanya. Kepada pertapa yang saleh itu, pemuda itu mengajukan permintaan, “Bapak Pertapa, tunjukkan kepadaku bagaimana saya dapat menemukan Tuhan.”

Pertapa itu bertanya, “Berapa besar kerinduanmu ini?” Pertapa itu menatap wajah pemuda itu dalam-dalam.

Orang muda itu menjawab, “Lebih dari apa pun di dunia ini.”

Pertapa itu membawa orang muda itu ke tepi sebuah danau yang ada di pekarangan pertapaan itu. Tanpa berkata apa-apa, pertapa itu masuk bersama pemuda itu ke dalam danau. Mereka masuk hingga ke leher mereka.

Kemudian pertapa itu mengangkat tangannya dan menekan kepala orang muda itu ke dalam air. Orang muda itu meronta-ronta. Ia berjuang untuk melepaskan diri dari tangan pertapa itu. Ia berteriak-teriak, agar pertapa itu melepaskan dirinya. Tetapi pertapa itu tidak melepaskan dirinya sampai ia hampir tenggelam.

Ketika mereka kembali ke pinggir danau, pertapa itu bertanya kepada pemuda itu, “Anakku, ketika engkau berada di dalam air, apa yang engkau inginkan lebih dari segala yang lain?”

Tanpa ragu-ragu pemuda itu menjawab, “Udara!”

Kata pertapa itu, “Baik, ketika engkau ingin menemukan Tuhan seperti engkau menginginkan udara, maka matamu akan terbuka terhadap keajaiban Tuhan.”

Tuhan senantiasa hadir dalam setiap langkah hidup kita. Seringkali kita tidak merasakannya. Ia hadir seperti udara yang secara otomatis kita hirup untuk kehidupan kita. Sering kita tidak peduli bahwa Tuhan selalu menyertai kita dalam perjalanan hidup kita. Karena itu, di saat-saat kita mengalami kesulitan dan derita, kita seringkali menganggap Tuhan jauh dari kita. Tuhan tidak peduli lagi terhadap hidup kita.

Ada seorang suami yang tega mengkhianati cintanya kepada istri dan anak-anaknya. Ia tidak peduli terhadap pergulatan hidup mereka. Bahkan ia menghabiskan uangnya di meja judi. Ia membiarkan mereka terlantar. Padahal setiap kali ia pulang ke rumah, istri dan anak-anaknya menyambutnya dengan penuh kasih sayang.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi atas diri suami itu? Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup. Sebagai orang beriman, kita meyakini bahwa Tuhan selalu membimbing langkah hidup manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaanNya berjuang sendirian di dunia ini.

Setiap hari kita mendapatkan begitu banyak berkat dari Tuhan. Dia memberi kita makan, minum, pakaian, semangat bekerja dan teman sekerja yang baik. Dia memberi kesempatan kepada kita semua untuk membangun suatu hidup yang lebih baik.

Karena itu, mari kita bersyukur atas anugerah Tuhan yang kita terima hari ini. Mari kita bawa setiap usaha kita hari ini di dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, kita selalu mendapat berkat untuk hari esok. Hari esok akan menjadi suatu kesempatan yang sangat bermakna bagi pertumbuhan iman kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/mensyukuri-anugerah-tuhan.html

Jumat, 20 Januari 2012

Memiliki Kepekaan terhadap Sesama

Memiliki Kepekaan terhadap Sesama




Setelah terjadi hujan lebat yang mendatangkan banjir dan menghanyutkan puluhan rumah penduduk di daerah kumuh, seorang pendeta datang mengunjungi tempat itu. Ketika tiba di daerah kumuh yang terkenal itu, pendeta itu melihat seorang anak berdiri telanjang di depan sebuah rumah. Dinding rumah yang terbuat dari sisa-sisa sampah itu telah hanyut dibawa banjir. Sekilas pandang, segala yang ada dalam rumah tersebut bisa dilihat tanpa hambatan apa pun, karena memang rumah tersebut tak berdinding. Dengan penuh rasa belas kasih pendeta itu bertanya, “Di mana ibumu?”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut anak itu. Matanya memandang jauh ke depan. Namun pancaran matanya mengatakan bahwa ia tak memiliki masa depan yang jelas. Ia telah kehilangan segalanya. Kedua orangtuanya telah hanyut bersama banjir. Dan satu-satunya yang kini ia miliki cuma sebuah rumah tak berdinding, sebuah rumah tak beratap. Matanya jauh menatap sebuah kehampaan.

Sang pendeta seakan mendapat pukulan yang keras dalam batinnya. Kata-kata Sang Gurunya terdengar jelas di telinga pendeta itu, “Aku datang agar kamu memperoleh kepenuhan hidup.”

Namun apakah anak ini memperoleh kehidupan yang penuh? Suatu kepenuhan dalam kehampaan? Dalam kebisuannya, anak itu seakan berkata, “Aku butuh uluran tanganmu.”

Pendeta itu bertanya keras, “Apakah yang harus aku perbuat?” Peristiwa ini ternyata menjadi awal pertobatan pendeta tersebut, yang selanjutnya mengabdikan diri untuk hidup bersama kaum miskin, membantu mereka untuk bangun dan membantu diri sendiri.

Di sekitar kita ada begitu banyak orang yang kurang beruntung. Tentu itu bukan kehendak mereka untuk hidup dalam kemalangan dan kemiskinan. Mereka hidup dalam situasi terpaksa.

Ada seorang bupati yang sangat memiliki perhatian bagi rakyatnya yang menderita. Ia membuat program-program untuk mengentas kemiskinan di wilayahnya. Dia menggunakan dana taktis yang biasanya dikucurkan setiap tahun. Jadilah para tukang becak di wilayah kabupatennya dapat memiliki rumah sederhana melalui kredit murah. Ia juga memberi beasiswa bagi anak-anak miskin. Bahkan ia membebaskan biaya sekolah bagi warganya sampai sembilan tahun. Cita-citanya adalah setiap warga di kabupatennya memiliki hidup yang lebih baik.

Tentu hal seperti ini sungguh luar biasa. Seorang pemimpin mesti memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Seorang pemimpin mesti memperhatikan sesamanya yang menderita. Dan caranya adalah dengan membuat program-program kerja yang dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Setiap hari Anda sudah bekerja keras untuk keluarga Anda. Pertanyaannya, apakah di sela-sela kesibukan Anda, Anda masih memiliki hati bagi sesama yang kurang beruntung? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/memiliki-kepekaan-terhadap-sesama.htm

Kamis, 19 Januari 2012

Pertanggungjawabkan Kepercayaan dengan Jujur

Pertanggungjawabkan Kepercayaan dengan Jujur


Ada seorang raja yang sudah tua. Ia menyadari bahwa sudah dekat saatnya ia mencari pewaris kerajaannya. Ia tidak mau mewariskan kerajaannya itu kepada salah satu dari bawahannya ataupun anaknya. Tetapi ia memutuskan untuk melakukan sesuatu hal yang berbeda.

Ia memanggil seluruh anak muda di seluruh kerajaannya. Ia berkata, "Sudah saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dan memilih raja yang baru. Aku memutuskan untuk memilih salah satu di antara kalian."

Anak-anak muda itu terkejut! Tetapi raja melanjutkan,"Aku akan memberikan kalian masing-masing satu bibit hari ini. Satu bibit saja. Bibit ini sangat istimewa. Aku ingin kalian pulang, menanamnya, merawatnya dan kembali ke sini lagi tepat 1 tahun dari hari ini dengan membawa hasil dari bibit yang kuberikan hari ini. Kemudian aku akan menilai hasil yang kalian bawa Seorang dari kalian yang aku pilih untuk menjadi raja negeri ini!"

Ada seorang anak muda yang bernama Arif yang berada di sana pada hari itu. Seperti yang lainnya, ia menerima bibit itu. Ia pulang ke rumah dan dengan antusias memberitahu ibunya tentang apa yang terjadi. Ibunya membantu Arif menyediakan pot dan tanah untuk bercocok tanam. Arif menanam bibit itu kemudian menyiraminya dengan hati-hati. Setiap hari ia selalu menyirami, merawat bibit itu, dan mengamati apakah bibit itu tumbuh.

Setelah beberapa minggu, beberapa dari anak muda itu mulai membicarakan mengenai bibit mereka dan tanaman yang telah mulai tumbuh. Arif pulang ke rumah dan memeriksa bibitnya, tetapi tidak ada hasilnya. Tiga minggu, 4, 5 minggu berlalu. Tetap tidak ada hasilnya.

Sekarang ini, para anak muda memperbincangkan tentang tanaman mereka, tetapi bibit Arif tetap belum tumbuh. Ia mulai merasa seperti pecundang. Enam bulan berlalu, tetap belum tumbuh juga. Ia berpikir bahwa ia telah membunuh bibit itu. Setiap orang memiliki pohon dan tanaman yang tinggi, tetapi ia tidak memiliki apa-apa. Arif tidak berkata apa-apa kepada temannya. Ia tetap menunggu bibitnya tumbuh.

Satu tahun berlalu sudah. Semua anak muda di seluruh kerajaan membawa tanaman mereka kepada raja untuk dinilai. Arif putus asa dan tidak ingin pergi dengan membawa pot yang kosong. Tetapi ibunya memberinya semangat untuk pergi dan membawa potnya. Arif harus jujur mengenai apa yang terjadi dengan bibit itu, saran ibunya. Arif sadar, saran ibunya benar. Dan ia pergi ke istana dengan membawa pot yang kosong. Ketika Arif tiba, ia kagum melihat berbagai macam tanaman yang dibawa oleh teman-temannya yang lain. Semuanya indah, dalam ukuran dan bentuk. Arif meletakkan pot yang kosong itu ke lantai dan banyak orang menertawainya. Beberapa merasa kasihan kepadanya.

Ketika raja datang, ia mengamati ruangan itu dan menyalami rakyatnya. Arif berusaha untuk bersembunyi di bagian belakang. "Wah, betapa indahnya tanaman, pohon, bunga yang kalian bawa," kata raja. "Hari ini, salah seorang dari kalian akan ditunjuk menjadi raja selanjutnya!" Seketika, sang raja melihat Arif di belakang ruangan dengan potnya yang kosong. Ia memerintahkan pengawalnya untuk membawa Arif ke depan.

Arif sangat ketakutan. "Sang raja tahu aku seorang pecundang! Mungkin ia akan memerintahkan aku untuk dihukum," pikir Arif.

Ketika Arif tiba di depan, sang raja menanyakan namanya. "Namaku Arif," jawab Arif. Semua orang menertawakannya.

Sang raja menenangkan situasi itu. Ia melihat Arif, dan kemudian mengumumkan ke seluruh kerajaan, "Lihatlah, ini raja kalian yang baru! Namanya adalah Arif!" Arif tidak mempercayai apa yang barusan dikatakan raja. Ia bahkan tidak bisa membuat bibit itu tumbuh, mengapa ia bisa menjadi raja yang baru?

Kemudian sang raja berkata, "Satu tahun lalu, aku memberikan setiap orang sebuah bibit. Dan kukatakan kepada kalian untuk mengambilnya, menanamnya, dan merawatnya, kemudian membawanya kembali kepadaku hari ini. Tetapi aku memberikan kalian bibit yang sudah direbus sehingga tidak akan bisa tumbuh. Kalian semuanya, kecuali Arif, membawakanku pohon, tanaman, bunga. Ketika kalian menyadari bibit itu tidak bisa tumbuh, kalian menukarkan dengan bibit lain. Hanya Arif yang memiliki keberanian dan kejujuran untuk membawakanku sebuah pot kosong dengan bibitku di dalamnya. Maka demikian, ia yang akan menjadi raja yang baru."

Sulit menemukan orang yang jujur dan berani di jaman ini. Kejujuran itu sangat mahal harganya. Orang lebih suka menutupi diri dengan berbagai rekayasa demi mencapai sesuatu. Orang rela mengorbankan kejujuran untuk menggapai keinginannya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tetap bertahan dalam kejujuran dan berani menanggung resiko. Kita tidak perlu buat rekayasa atau manipulasi yang hanya menumbuhkan kesenangan sesaat. Mari kita bawa kejujuran dalam hidup kita sehari-hari. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/pertanggungjawabkan-kepercayaan-dengan.html

Senin, 16 Januari 2012

Hidup dalam Semangat Kasih

Hidup dalam Semangat Kasih


Konon ada seorang raja di timur tengah yang sangat lalim. Ia begitu kecanduan akan kekuasaan bagai dewa, sampai dia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati kepada ayahnya sendiri. Ia tidak peduli terhadap siapa pun. Baginya, yang penting ia dapat memenuhi keinginan hatinya untuk melakukan sesuatu, ia akan lakukan. Ia tidak peduli akibat dari perbuatannya.

Namun ia mesti membayar mahal atas perbuatan-perbuatan kejamnya itu. Suatu hari anak sulungnya menggerakkan tentara penjaga istana untuk melawan sang raja. Ia menangkap ayahnya, merantai dan menjebloskannya ke dalam penjara. Kemudian ia memerintahkan agar ayahnya dibawa menghadapnya.

Ia menuduh kejahatan dan kekejaman ayahnya dengan berkata, “Karena kamu telah membunuh ayahmu, saya akan menjatuhkan hukuman yang sama.”

Lantas ia memerintahkan tentara istana untuk membunuh ayahnya. Ayahnya meninggal setelah dimasukkan ke jurang yang sangat dalam. Ayahnya mati perlahan-lahan di dalam jurang itu.

Namun hukuman yang hampir sama menimpa anak sulung itu. Karena kekejamannya terhadap rakyat dan ayahnya, ia ditangkap, disiksa dan dihukum mati. Ngerinya lagi adalah ia juga dihukum mati oleh orang yang sangat dekat dengannya, yaitu istrinya sendiri. Istrinya tidak ingin melihat penderitaan rakyat yang berlarut-larut. Ia meminta salah seorang pengawal suaminya untuk membunuhnya.

Kalau Tuhan kita jadikan raja dalam hidup kita tentu tidak akan sekejam dua raja dalam kisah di atas. Tuhan kita pasti memerintah umatNya tidak dengan tangan besi. Pasti Tuhan memerintah dengan penuh kasih sayang. Mengapa? Yang dimiliki oleh Tuhan hanyalah kasih. Pada hakekatnya Tuhan itu kasih. Dengan kasih itu, Tuhan menghendaki agar kita berjuang menghidupkan kasih itu dalam hidup kita sehari-hari.

Tuhan yang adalah kasih itu ingin merepotkan diri untuk hadir di tengah-tengah umatNya. Tuhan itu tidak hanya tinggal jauh dalam singgasana surgawi. Tetapi Tuhan juga hadir dalam hati manusia. Ia hidup dan menggerakkan hati manusia untuk berbuat kasih bagi sesama. Karena itu, perbuatan baik kita manusia mesti berasal dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu. Kalau perbuatan kasih kita hanya didorong oleh keinginan manusiawi kita, maka yang timbul adalah balas dendam, iri, cemburu dan kompetisi yang tidak sehat. Tetapi kalau perbuatan baik kita sungguh-sungguh dilandasi oleh kasih Tuhan, saya yakin kita akan bertumbuh menjadi orang-orang yang tetap setia kepada Tuhan.

Karena itu, jabatan atau kedudukan yang kita miliki, apa pun bentuknya, mesti menjadi suatu bentuk ungkapan kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Jabatan atau kedudukan tidak dipakai hanya untuk keuntungan diri sendiri. Jabatan atau kedudukan itu mesti digunakan untuk kesejahteraan semua orang. Untuk itu, seorang yang beriman mesti menghindari kesewenang-wenangan. Orang yang beriman mesti mengandalkan kedudukannya atau jabatannya untuk memperjuangkan martabat dan kehormatan manusia. Ia tidak menindas sesamanya. Ia tidak menjadikan sesamanya sebagai obyek kekuasaan atau kedudukannya. Ia memandang sesamanya sebagai orang yang mesti diperjuangkan hak-haknya. Orang beriman itu aktif membela sesamanya yang menderita.

Mari kita terus-menerus berjuang untuk kesejahteraan manusia seutuhnya. Kita mau agar masyarakat kita menjadi suatu masyarakat yang damai, rukun dan saling membantu dalam semangat kasih dan persaudaraan. Tuhan yang hidup di dalam diri kita pasti akan menggerakkan usaha-usaha baik kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/04/hidup-dalam-semangat-kasih.html

Jumat, 13 Januari 2012

Iman yang Hidup

Iman yang Hidup





Di suatu daerah terjadi kelaparan. Banyak anak yang mengalami gizi buruk. Ada yang mengalami busung lapar. Kondisi tubuh mereka sangat mengenaskan. Sementara orang-orang dewasa tampak kurus kering. Tiada makanan bergizi yang dapat membuat mereka tumbuh dengan baik. Akibat lanjut dari gizi buruk bagi anak-anak itu adalah pertumbuhan otak mereka juga terhambat.

Selidik punya selidik, ternyata akibat dari kelaparan yang melanda daerah itu adalah kaum lelaki malas bekerja. Yang bekerja di ladang dan sawah hanya kaum ibu. Sedangkan kaum lelaki menghabiskan waktu mereka di meja judi. Pagi-pagi buta kaum ibu itu berangkat ke sawah atau ladang. Mereka tidak sempat lagi menyiapkan makan untuk anak-anak mereka. Mereka baru tiba kembali di rumah pada sore hari. Akibatnya, anak-anak mereka terlantar. Apalagi suami-suami mereka tidak peduli terhadap anak-anak mereka.

Kelaparan tidak bisa dielakkan. Namun kaum lelaki tetap cuek. Mereka melanjutkan kebiasaan bermain judi. Mereka memaksa istri-istri mereka untuk memberi mereka uang untuk berjudi. Kalau tidak diberi, kaum istri itu menjadi sasaran pukulan. Mereka juga tidak segan-segan menggadaikan tanah yang mereka miliki untuk berjudi.

Salah satu penyebab kemiskinan adalah kemalasan. Dalam suasana malas itu orang tidak bisa berpikir kreatif. Seolah-olah tidak ada jalan untuk keluar dari kungkungan kemiskinan itu. Dalam keadaan seperti ini orang cenderung mencari yang enak dan menyenangkan bagi diri sendiri. Orang tidak peduli bahwa mereka juga makhluk sosial yang mesti terlibat dalam kehidupan bersama. Orang tidak peduli bahwa hidup mereka juga memiliki fungsi untuk memajukan kehidupan bersama.

St Paulus mengatakan bahwa kalau orang tidak bekerja janganlah ia makan. Melalui kerja seseorang mengekspresikan seluruh hidupnya. Melalui kerja orang mengungkapkan imannya kepada Tuhan yang disembahNya. Orang yang beriman itu tidak hanya mengungkapkan imannya dengan rajin beribadat dan berdoa. Tetapi orang yang beriman itu juga menghayati imannya dalam hidup yang nyata dengan bekerja untuk mencari nafkah.

Bekerja atau memiliki pekerjaan juga merupakan wujud tanggung jawab kita terhadap masyarakat di sekitar kita. Orang yang bekerja menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakatnya. Dengan gaji yang ia miliki, ia dapat menyumbang kepada masyarakat melalui pajak. Ia tidak menyumbang pengangguran kepada masyarakat. Ia tidak menyumbang kemiskinan kepada masyarakat di mana ia hidup.

Orang yang beragama itu orang yang selalu menghayati imannya dalam hidup sehari-hari. Bekerja atau memiliki pekerjaan yang baik itu menjadi suatu penghayatan iman kepada Tuhan. Karena itu, kesadaran untuk bekerja merupakan suatu tuntutan terhadap seorang yang beriman. Ia tidak cukup hanya mengatakan ia seorang beriman dengan rajin beribadat dan berdoa. Iman itu mesti ditunjukkan dalam perbuatan nyata. Caranya adalah dengan bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan sesama.

Kalau orang berani menyingsingkan lengan baju untuk bekerja keras bagi diri dan sesama, imannya sungguh-sungguh hidup. Karena iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Iman yang hidup itu mesti tampak dalam perbuatan yang nyata pula.

Karena itu, mari kita berjuang untuk menghayati iman kita dengan bekerja yang benar dan rajin. Itulah bagian dari iman kita kepada Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang. Sambil berdoa dan beribadat kepada Tuhan, kita terus bekerja untuk melepaskan diri dan masyarakat kita dari belenggu kemiskinan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/iman-yang-hidup.html

Selasa, 10 Januari 2012

Kasih Itu Sumber Hidup Manusia

Kasih Itu Sumber Hidup Manusia


Adalah suatu rahmat Tuhan saya dapat berjumpa dengan Percy N. Khambatta, pendeta agama Zarathustra. Penampilannya yang sederhana dengan pakaian putih-putih hingga topi, menampakkan suatu kesejukan tersendiri. Bicaranya sangat sederhana. Ia selalu menatap wajah lawan bicaranya sebagai tanda hormat dan perhatian.

Meski baru pertama kali berjumpa, tidak ada rasa asing di antara kami. Padahal agama kami berbeda. Warga negara kami juga berbeda. Dia seorang warga negara Singapura yang menginjakkan kaki di kota mpek-mpek Palembang, karena tragedi jatuhnya pesawat Silk Air di Sungsang, Sumatera Selatan, 19 Desember 1997.

Kami berjumpa dalam acara peresmian monumen Silk Air untuk menghormati dan mendoakan 104 korban di pemakaman Kebun Bunga, 19 Desember 1998 silam. Saya adalah satu-satunya ulama Indonesia yang diundang untuk mendoakan arwah para korban itu. Sementara semua ulama yang lain, dari berbagai agama, berasal dari Singapura.

Saya memang buta mengenai Agama Zarathustra. Yang terlintas dalam pikiran saya cuma nama pendirinya, yaitu Zoroaster yang memulai agamanya di Iran ribuan tahun silam. Tetapi soal inti ajarannya? Saya buta! Karena itu, saya berdialog dengan Khambatta. Saya ingin tahu.

“Our religion teaches us to be good person,” kata Khambatta. Artinya, agama kami mengajar kami untuk menjadi orang baik.

Menjadi orang baik! Itulah titik tolaknya. Lantas dalam hidup sehari-hari agama Zarathustra merealisasikannya dalam good thoughts (berpikir baik), good words (berkata baik) dan good deeds (berbuat baik).

Falsafahnya sangat sederhana. Seandainya semua orang memiliki falsafah seperti itu, tentu dunia akan jadi lain. Dunia ini akan menjadi tempat manusia memanen damai, kasih, persaudaraan sejati. Bukan badai kekacauan seperti yang sudah, sedang dan akan kita alami dan kita saksikan dalam hidup kita sehari-hari. Tentu dunia ini akan selalu diwarnai oleh suasana hidup yang saling menghormati. Hak-hak asasi manusia sungguh-sungguh dihargai. Tidak perlu lagi ada diskriminasi terhadap suku, agama, dan ras atau etnis tertentu. Semua hidup dalam damai.

“Most of all, we have to love each other,” kata Khambatta. Artinya, yang terpenting adalah kita mesti saling mengasihi. Bukankah ini sungguh-sungguh indah?

Untuk merealisasikan kasih itu, Khambatta, yang mengaku sebagai pendeta part time karena jumlah umat Zarathustra di Singapura sangat sedikit (202 orang), memberi makan kepada kaum fakir miskin yang datang ke restorannya di Jalan Orchard 391, Singapura.

Kasih! Satu kata inilah yang mesti menjadi pegangan hidup setiap orang yang beriman kepada Tuhan. Kiranya setiap agama dan kepercayaan mengajarkan tentang kasih. Kasih menjadi andalan utama setiap agama dan kepercayaan. Kasih ini menjadi jimat kita orang beriman. Karena ketika orang mengingkari kasih, yang terjadi justru kegalauan. Ketika mata manusia terkatup rapat karena benci, iri hati kehancuranlah yang ditemukan. Pengampunan tidak terjadi dalam kehidupan ini kalau orang mengabaikan kasih kepada sesamanya.

St Paulus berkata, “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya.”

Apa artinya ungkapan ini bagi orang beriman? Artinya, kasih itu mesti menjadi nyata dalam hidup sehari-hari. Kasih itu diungkapkan dalam perbuatan nyata seperti rela mengampuni yang bersalah, tidak cemburu, ramah terhadap sesama, memberikan pertolongan kepada yang berkesusahan dan masih banyak lagi perbuatan baik lainnya. Kalau hal-hal ini terjadi dalam hidup yang nyata, dunia ini menjadi tempat yang aman untuk dihuni. Lingkungan di mana kita hidup dipenuhi dengan suasana yang menyenangkan.

Mari kita mempraktekkan kasih itu dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih bermakna bagi hidup semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/04/kasih-itu-sumber-hidup-manusia.html

Senin, 09 Januari 2012

Menjadi Pelopor Perdamaian

Menjadi Pelopor Perdamaian




Suatu hari seorang anak kecil berdoa dengan sangat khusyuk di dalam rumah ibadat. Matanya berkaca-kaca. Ia berdoa, “Tuhan, Hatiku sedang galau saat ini. Begitu banyak kekerasan yang terjadi. Banyak teman-temanku yang terkapar mati. Mereka tidak berdosa, Tuhan. Tetapi kenapa mereka menjadi korban kekerasan seperti perang, kekerasan dalam rumah tangga?”

Anak berusia sepuluh tahun ini berdoa demikian, karena setiap hari ia mengikuti berita-berita TV dan membaca surat kabar yang terbit di kotanya. Hatinya terasa perih, ketika ia menyaksikan setiap kekejaman manusia terhadap sesamanya. Betapa tidak, ada anak yang dibunuh oleh orangtuanya seperti sedang sembelih ayam. Ada lagi anak-anak yang mati karena serangan para tentara di Irak atau bom bunuh diri di Pakistan.

“Tuhan, aku takut kalau dunia ini semakin menjadi tempat pembantaian terhadap teman-temanku. Mungkin aku juga dapat menjadi sasaran tangan-tangan yang haus darah. Aku takut, Tuhan,” doa anak itu lagi.

Ketakutan anak itu memang beralasan. Setiap saat kita dapat menyaksikan kekejaman yang terjadi di seantero dunia ini. Seolah-olah dunia ini bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi langkah-langkah manusia. Mengapa semua ini bisa terjadi?

Salah satu sebab terjadinya peristiwa-peristiwa keji itu adalah hati manusia yang egois. Manusia hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Padahal manusia itu makhluk sosial yang mesti hidup berdampingan secara selaras dengan sesamanya. Melukai hati sesama berarti melukai diri sendiri. Padahal Tuhan selalu mengasihi seluruh ciptaanNya. Ia menghendaki ciptaanNya tidak menderita.

Karena itu, sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita semua diajak untuk menghentikan kekerasan dalam bentuk apa pun. Untuk itu, kita mesti mulai dari diri kita sendiri. Kita membuka hati kita untuk kasih Tuhan yang begitu besar kepada kita. Kita biarkan kasih Tuhan itu bekerja di dalam diri kita. Mengapa demikian? Karena kasih merupakan inti hidup manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa kasih.

Sebagai orang beriman, kita mesti mengandalkan kasih itu bagi hidup kita sehari-hari. Tuhan mengasihi semua orang yang memiliki hasrat baik bagi kehidupan. Untuk itu, kita mulai dari diri kita sendiri. Kita mau mengasihi orang yang dekat dengan kita. Kita mau memberantas kejahatan dan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menciptakan suatu hidup yang damai dengan semua orang di sekitar kita.

Damai itu akan terjadi kalau kita memiliki niat baik untuk keselamatan seluruh ciptaan Tuhan. Siapkah kita menjadi pelopor-pelopor perdamaian di dunia ini?

Setiap hari kita mengalami begitu banyak hal baik bagi diri kita. Ada begitu banyak perhatian dari orang-orang di sekitar kita bagi hidup kita. Karena itu, kita ingin mensyukurinya. Kita berharap, Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu senantiasa menyertai kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/04/menjadi-pelopor-perdamaian.html

Jumat, 06 Januari 2012

Belajar dari Pengalaman Hidup

Belajar dari Pengalaman Hidup


Suatu hari seorang teman mengunjungi saya. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa. Karena itu, kami mencurahkan rasa rindu kami dengan obrolan-obrolan masa lalu. Topik pembicaraan yang paling dominan dalam pembicaraan itu tentang live in di Solo, Jawa Tengah. Dalam live in itu, kami tinggal bersama suatu masyarakat dalam waktu yang tidak lama. Tujuan live ini adalah merasakan dan mengalami cara hidup warga setempat.

Ia mengenang kembali saat-saat, ketika ia bersama seorang tukang sampah (betulan) mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah.

“Apa komentar warga waktu itu?”tanya teman saya itu, mengingatkan saya.

“Ada yang kasihan sama kita. Ada yang bilang, orang bersih-bersih gitu kok mau jadi tukang sampah,” kata saya.

Teman saya itu tertawa terkekeh-kekeh. Memang, kebanyakan warga kurang begitu mengenal para tukang sampah (betulan) yang hampir setiap hari berkeliling itu. Karena itu, mereka pun tidak tahu, kalau ada sejumlah mahasiswa yang sedang live in alias merasakan kehidupan nyata bersama orang-orang kecil. Ketidaktahuan warga itu menjadi sesuatu yang sangat diharapkan. Mengapa? Karena kalau warga sudah tahu identitas para mahasiswa itu, sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak tega melihat para mahasiswa itu berlepotan kotoran sampah yang berasal dari rumah mereka.

“Saya merasakan bahwa pengalaman live in itu sesuatu yang berguna bagi persiapan saya untuk menjadi seorang pemimpin. Sayang, saya tidak menjadi pemimpin besar di masyarakat. Tetapi toh pengalaman seperti itu tetap saya bawa hingga kini. Saya menjadi lebih peduli terhadap mereka yang kurang mampu,” kata teman saya yang kini sudah menjadi seorang bapak keluarga dengan dua orang anak ini.

Pengalaman hidup sehari-hari sering menjadi guru yang sangat berharga dalam mendidik seseorang memaknai hidup ini. Para pemimpin yang pernah mengalami hal ini akan memperhatikan rakyat yang mereka pimpin. Pengalaman live in itu sesuatu yang sangat berharga dalam proses pembinaan mereka.

Gunungan sampah yang pernah mereka sentuh dapat mengajari mereka bahwa ada warna-warni kehidupan yang mesti mereka jamah dan alami. Kehidupan ini tidak hanya riak-riak kecil nan biasa yang mengalir begitu saja. Kehidupan ini ternyata memiliki suatu makna perjuangan, kalau itu didalami sungguh-sungguh.

Pengalaman ini tentu akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan hidup seorang pemimpin. Presiden Sukarno banyak ditempa oleh perjumpaan dengan masyarakat kecil. Ketika ia dibuang di berbagai tempat di Tanah Air, ia belajar banyak dari mereka. Ia menjadi seorang pemimpin yang sangat peduli terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Karena itu, perjuangannya untuk kemerdekaan bangsa ini merupakan suatu perjuangan yang total. Sebagai orang beriman, apakah kita juga berjuang secara total untuk kebahagiaan sesama kita? Ataukah kita masih hanya berkutat dengan diri kita sendiri? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/04/belajar-dari-pengalaman-hidup.html