


Suatu ketika, ibu itu mensharingkan pengalamannya. Ia mengatakan bahwa anak yang dikasihinya itu pemberian Tuhan. Tuhan menghendaki ia merawat anak itu dengan baik. Itulah tandanya ia mengasihi Tuhan dan sesama. Ia berkata, “Tuhan begitu baik kepadaku. Ia memberi saya seorang anak yang cacat, supaya saya dapat meneruskan kebaikan Tuhan itu.”
Inilah iman. Iman ibu itu telah meluputkan dia dari rasa benci atau menolak kehadiran buah hatinya yang cacat itu. Sumber iman itu ia timba dari Tuhan sendiri yang telah mengaruniakan seorang buah hati baginya. Masihkah iman seperti ini tumbuh dalam diri kita?
Dalam banyak peristiwa kita menyaksikan ada orang yang begitu putus asa menghadapi suatu kegagalan dalam hidup. Bahkan mereka sampai tega mengakhiri hidup ini dengan minum racun atau gantung diri. Seolah-olah tidak ada secercah harapan dalam hidup mereka. Mereka kehilangan iman dalam hidup ini. Mereka kehilangan Tuhan dalam hidup ini.
Tentu sebagai orang beriman, hal ini merupakan suatu tragedi besar dalam kehidupan manusia. Semestinya orang beriman itu memiliki sikap pasrah kepada Tuhan. Suatu penyerahan diri yang total kepada kehendak Tuhan. Dalam iman itu tumbuh kreativitas. Dalam iman itu muncul berbagai usaha dan upaya untuk keluar dari kesulitan hidup.
Iman semestinya membangkitkan semangat hidup untuk semakin berproses dalam hidup ini. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk berani membantu sesama yang berada dalam situasi putus harapan. Kita dipanggil untuk menaburkan harapan bagi mereka yang kehilangan harapan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar