Memiliki Daya Tahan
Suatu
hari, seorang murid silat datang kepada gurunya. Ia mengatakan kepada
gurunya bahwa ia sudah layak disejajarkan dengan gurunya dalam banyak
hal. Soalnya, dia sudah menguasai seluruh jurus silat. Dia sudah
mempraktekkannya dengan baik. Bahkan ketika suatu hari dia dikeroyok
oleh enam orang kawanan penjahat, ia dapat mengatasi mereka. Ia
mengalahkan mereka dengan memukul mereka sampai pingsan.
Guru
itu menatap mata muridnya dalam-dalam lalu bertanya, “Apakah menguasai
seluruh jurus itu sudah cukup? Bukankah masih ada kualifikasi lain?”
Murid
itu dengan suara tegas menjawab, “Saya sudah mendisiplinkan tubuhku
sedemikian rupa, sehingga saya dapat tidur di atas tanah, makan rumput
di padang dan membiarkan diriku didera tiga kali sehari.”
Guru
itu menarik lengan muridnya. Lantas ia membawanya ke jendela. Ia
mengajaknya untuk melihat seekor sapi yang ditambat di lapangan dengan
rerumputan yang hijau. Lalu dengan wajah agak sedih ia berkata kepada
muridnya, “Lihat sapi itu? hendaknya Anda ingat bahwa sapi itu tidur di
tanah, makan rumput dan tidak kurang dari tiga kali sehari dicemeti.
Karena itu, sampai saat ini kamu hanya layak menjadi seperti seekor
sapi, bukan sebagai murid yang sudah lulus.”
Mata
murid itu menjadi merah. Ia sangat geram. Mengapa ia disamakan dengan
seekor sapi? Padahal ia sudah berjuang habis-habisan untuk menggapai
cita-citanya sebagai seorang yang dinobatkan juga sebagai guru atau
bahkan mahaguru di dunia silat. Hari itu juga murid itu mengundurkan
diri dari perguruan silat itu. Ia merasa diri tidak layak menempuh
pelatihan di padepokan itu.
Barangkali yang sangat kurang
dari sang murid dalam kisah tadi adalah kerendahan hati. Hidup ini
sebenarnya suatu proses. Dalam proses itu orang tidak bisa membuat
keputusan seenaknya sendiri. Orang mesti melewati proses demi proses.
Orang tidak bisa begitu saja meloncati suatu proses yang sedang
dilalui. Orang mesti menjauhi sikap tergesa-gesa.
Kesempurnaan
itu dicapai kalau orang sudah melewati proses pembentukan dirinya.
Kadang-kadang orang merasa diri sudah tidak perlu pembinaan lagi. Orang
ingin lepas bebas bagai burung-burung di udara. Orang tidak sadar
bahwa masih ada begitu banyak hal yang mesti dipelajari dalam kehidupan
ini.
Karena
itu, dalam proses pembentukan diri itu dibutuhkan suatu sikap rendah
hati. Orang mesti belajar dari ilmu padi. Semakin berisi semakin
merunduk. Kesombongan hanya mempercepat kegagalan dalam hidup. Kata
orang, kesombongan itu langkah awal menuju kebinasaan.
Orang
juga butuh kesabaran dalam menjalani setiap proses pembentukan
dirinya. Kesabaran itu sering menjadi kunci sukses banyak orang dalam
meraih cita-cita mereka. Hal lain adalah keuletan dalam mengikuti
setiap proses pembentukan.
Kita
boleh bertanya diri apakah kita masih memiliki kerendahan hati yang
mendalam? Atau kita sudah melepaskan kerendahan hati ini? Apakah kita
memiliki kesabaran yang cukup dalam perjuangan kita meraih sukses?
Apakah hidup kita hari ini didukung oleh keuletan dalam menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan kita? Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/memiliki-daya-tahan.html
Senin, 26 September 2011
Senin, 19 September 2011
19 September-Menyembuhkan Luka Batin
Menyembuhkan Luka Batin
Seorang gadis tumbuh dalam suasana dendam terhadap ayahnya. Pasalnya, ayahnya selalu menampar ibunya. Ayahnya tidak segan-segan melakukan hal itu di depan matanya. Sering ia menangis histeris menyaksikan ayahnya yang berbadan kekar itu menampar pipi ibunya. Ia memeluk ibunya yang kesakitan. Dalam hati, ia menaruh rasa benci yang dalam terhadap ayahnya.
Ketika beranjak dewasa, gadis itu tetap menaruh dendam terhadap ayahnya. Bahkan ia membenci setiap lelaki yang dijumpainya. Setiap lelaki yang berusaha mendekatinya selalu ia tolak. Ia takut, kalau-kalau ia mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Luka batinnya masih tersimpan rapat-rapat di dalam hatinya. Ia tidak bisa dengan mudah mengampuni ayahnya. Ia juga tetap menaruh curiga terhadap setiap lelaki.
Sebenarnya ibunya selalu mengajarinya untuk selalu mengampuni ayahnya. Tetapi gadis itu terlanjur membenci ayahnya. Ia tidak bisa begitu saya melepaskan diri dari rasa benci itu. Baginya, seharusnya ayahnya senantiasa melindungi ibunya. Bukan sebaliknya, menyiksa ibunya.
“Apa gunanya saya memberikan pengampunan, kalau hati saya masih sakit dan terluka?” kata gadis itu kepada ibunya.
Obat dari luka batin itu adalah pengampunan. Hanya melalui pengampunan itu orang dapat lepas dari rasa sakit hati yang mendalam. Tetapi mengapa gadis itu tidak bisa mengampuni ayahnya? Karena ia masih memiliki rasa benci dan dendam yang mendalam terhadap perlakuan ayahnya atas ibunya. Ia masuk dalam kebencian perseteruan. Awalnya ia memeluk ibunya dan menangis bersama ibunya. Lalu ia tidak mau memandang wajah ayahnya. Ia tidak mau menegur ayahnya sambil dalam hatinya ia mengancam akan membalas perlakukan ayahnya, meski ia tak mampu.
Kebencian perseteruan itu berakibat lanjut yang lebih buruk lagi, yaitu menghendaki orang yang menyakiti hati itu mengalami suatu penderitaan. Misalnya, ia mengharapkan orang yang menyakitinya itu mengalami kecelakaan lalu lintas. Atau menghendaki orang yang menyakitinya itu mati secara mendadak.
Karena itu, langkah pertama yang mesti diambil untuk mengobati luka batin adalah orang yang bersangkutan mesti berani mengakui bahwa ia membenci orang yang menyakiti hatinya. Kalau hal ini yang terjadi, maka orang akan mudah untuk mencari alasan-alasan membenci orang lain. Alasan-alasan itu kemudian lambat laun disadari dan diusahakan untuk diselesaikan.
Langkah berikutnya adalah orang mesti yakin bahwa obat paling mujarab untuk luka batin adalah pengampunan. Tetapi pengampunan itu bukan hanya soal perasaan. Yang paling utama dalam pengampunan adalah keputusan untuk mengampuni sesama yang bersalah. Keputusan untuk mengampuni itu menambah daya kekuatan bagi seseorang untuk menerima sesama yang menyakiti dan melukai batinnya dengan lebih baik. Ia tidak lagi menolak kehadirannya. Justru ia memberi kesempatan kepada orang yang menyakiti dan melukai hatinya itu hadir dalam lubuk hatinya. Bukan lagi sebagai orang yang mesti dibenci, tetapi sebagai orang yang menerima kasih sayang darinya.
Mampukah kita mengampuni mereka yang pernah menyakiti dan melukai hati kita? Kalau kita memiliki kasih yang besar, kita akan mampu mengampuni mereka yang pernah menyakiti dan melukai hati kita. Kita mohon agar Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang membantu kita dalam usaha kita membangun hidup yang penuh pengampunan. **
Frans de Sales, SCJ
sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/menyembuhkan-luka-batin.html
Seorang gadis tumbuh dalam suasana dendam terhadap ayahnya. Pasalnya, ayahnya selalu menampar ibunya. Ayahnya tidak segan-segan melakukan hal itu di depan matanya. Sering ia menangis histeris menyaksikan ayahnya yang berbadan kekar itu menampar pipi ibunya. Ia memeluk ibunya yang kesakitan. Dalam hati, ia menaruh rasa benci yang dalam terhadap ayahnya.
Ketika beranjak dewasa, gadis itu tetap menaruh dendam terhadap ayahnya. Bahkan ia membenci setiap lelaki yang dijumpainya. Setiap lelaki yang berusaha mendekatinya selalu ia tolak. Ia takut, kalau-kalau ia mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Luka batinnya masih tersimpan rapat-rapat di dalam hatinya. Ia tidak bisa dengan mudah mengampuni ayahnya. Ia juga tetap menaruh curiga terhadap setiap lelaki.
Sebenarnya ibunya selalu mengajarinya untuk selalu mengampuni ayahnya. Tetapi gadis itu terlanjur membenci ayahnya. Ia tidak bisa begitu saya melepaskan diri dari rasa benci itu. Baginya, seharusnya ayahnya senantiasa melindungi ibunya. Bukan sebaliknya, menyiksa ibunya.
“Apa gunanya saya memberikan pengampunan, kalau hati saya masih sakit dan terluka?” kata gadis itu kepada ibunya.
Obat dari luka batin itu adalah pengampunan. Hanya melalui pengampunan itu orang dapat lepas dari rasa sakit hati yang mendalam. Tetapi mengapa gadis itu tidak bisa mengampuni ayahnya? Karena ia masih memiliki rasa benci dan dendam yang mendalam terhadap perlakuan ayahnya atas ibunya. Ia masuk dalam kebencian perseteruan. Awalnya ia memeluk ibunya dan menangis bersama ibunya. Lalu ia tidak mau memandang wajah ayahnya. Ia tidak mau menegur ayahnya sambil dalam hatinya ia mengancam akan membalas perlakukan ayahnya, meski ia tak mampu.
Kebencian perseteruan itu berakibat lanjut yang lebih buruk lagi, yaitu menghendaki orang yang menyakiti hati itu mengalami suatu penderitaan. Misalnya, ia mengharapkan orang yang menyakitinya itu mengalami kecelakaan lalu lintas. Atau menghendaki orang yang menyakitinya itu mati secara mendadak.
Karena itu, langkah pertama yang mesti diambil untuk mengobati luka batin adalah orang yang bersangkutan mesti berani mengakui bahwa ia membenci orang yang menyakiti hatinya. Kalau hal ini yang terjadi, maka orang akan mudah untuk mencari alasan-alasan membenci orang lain. Alasan-alasan itu kemudian lambat laun disadari dan diusahakan untuk diselesaikan.
Langkah berikutnya adalah orang mesti yakin bahwa obat paling mujarab untuk luka batin adalah pengampunan. Tetapi pengampunan itu bukan hanya soal perasaan. Yang paling utama dalam pengampunan adalah keputusan untuk mengampuni sesama yang bersalah. Keputusan untuk mengampuni itu menambah daya kekuatan bagi seseorang untuk menerima sesama yang menyakiti dan melukai batinnya dengan lebih baik. Ia tidak lagi menolak kehadirannya. Justru ia memberi kesempatan kepada orang yang menyakiti dan melukai hatinya itu hadir dalam lubuk hatinya. Bukan lagi sebagai orang yang mesti dibenci, tetapi sebagai orang yang menerima kasih sayang darinya.
Mampukah kita mengampuni mereka yang pernah menyakiti dan melukai hati kita? Kalau kita memiliki kasih yang besar, kita akan mampu mengampuni mereka yang pernah menyakiti dan melukai hati kita. Kita mohon agar Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang membantu kita dalam usaha kita membangun hidup yang penuh pengampunan. **
Frans de Sales, SCJ
sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/menyembuhkan-luka-batin.html
Rabu, 07 September 2011
7 Sepetmber-Membantu Sesama yang Kekurangan Pakaian
Membantu Sesama yang Kekurangan Pakaian
Beberapa tahun yang lalu saya mengunjungi Suku Anak Dalam di Rantau Kloyang, Muara Bungo, Jambi. Mereka tinggal di hutan, namun biasanya mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka membangun gubuk-gubuk yang sangat sederhana untuk tinggal selama dua minggu atau lebih. Mereka mengumpulkan makanan dari hutan, sebab mereka tidak memiliki sawah atau ladang untuk diolah.
Ketika itu saya berjumpa dengan sebuah keluarga yang anak-anaknya dibiarkan telanjang, karena mereka tidak mempunyai pakaian yang cukup. Saya bertanya kepada anak-anak itu mengapa mereka telanjang. Ibu mereka menjawab, “Kami tidak punya uang untuk beli pakaian. Tambahan pula tidak ada seorang pun yang mau memberi kami pakaian. Jika bapak mempunyai sisa pakaian, berikan itu kepada kami.”
Saya tidak dapat berkata apa-apasetelah mendengar pernyataannya. Saya pulang ke kota Muara Bungo setelah berbincang-bincang dengan beberapa anak dan membuat foto-foto. Beberapa waktu lamanya saya tidak dapat tidur, karena pernyataan ibu itu selalu terngiang di benak saya.
Saya bertanya dalam hati, “Apa yang dapat saya buat bagi mereka?”
Saya tidak punya uang untuk membelikan mereka pakaian. Waktu itu saya juga tidak punya sisa pakaian. Namun suatu hari ada serombongan ibu-ibu yang memberi pakaian yang masih sangat layak pakai. Saya bawa pakaian itu untuk anak-anak Suku Anak Dalam itu.
Di dunia sekarang ini ada begitu banyak orang miskin yang tidak punya pakaian. Kondisi ini bisa menimpa jutaan orang yang mendiami bumi ini. Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita buat untuk sesama yang tidak cukup punya pakaian? Apakah kita akan membiarkan mereka kedinginan di musim hujan, karena tidak punya pakaian yang pantas?
Sebagai orang beriman, melihat kondisi seperti ini tentu membuat hati kita trenyuh. Kita tidak tega membiarkan sesama yang terlunta-lunta, karena ketiadaan pakaian. Karena itu, kita diajak untuk memberi perhatian kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan dari sesamanya.
Orang-orang yang malang seperti ini membutuhkan bantuan yang kita beri dengan kasih dan kegembiraan. Iman yang hidup itu tampak dalam perbuatan nyata. Orang yang menyatakan diri beriman, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk sesamanya yang menderita itu bagai tong kosong nyaring bunyinya. Imannya tidak membuahkan kasih sayang bagi sesama.
Saudara, kita beruntung bahwa kita memiliki pakaian yang pantas yang dapat kita gunakan dalam berbagai acara. Karena itu, uluran tangan kasih yang kita berikan kepada sesama yang menderita akan memberi kesempatan bagi sesama untuk melanjutkan hidup ini dengan lebih baik. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/membantu-sesama-yang-kekurangan-pakaian.html
Beberapa tahun yang lalu saya mengunjungi Suku Anak Dalam di Rantau Kloyang, Muara Bungo, Jambi. Mereka tinggal di hutan, namun biasanya mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka membangun gubuk-gubuk yang sangat sederhana untuk tinggal selama dua minggu atau lebih. Mereka mengumpulkan makanan dari hutan, sebab mereka tidak memiliki sawah atau ladang untuk diolah.
Ketika itu saya berjumpa dengan sebuah keluarga yang anak-anaknya dibiarkan telanjang, karena mereka tidak mempunyai pakaian yang cukup. Saya bertanya kepada anak-anak itu mengapa mereka telanjang. Ibu mereka menjawab, “Kami tidak punya uang untuk beli pakaian. Tambahan pula tidak ada seorang pun yang mau memberi kami pakaian. Jika bapak mempunyai sisa pakaian, berikan itu kepada kami.”
Saya tidak dapat berkata apa-apasetelah mendengar pernyataannya. Saya pulang ke kota Muara Bungo setelah berbincang-bincang dengan beberapa anak dan membuat foto-foto. Beberapa waktu lamanya saya tidak dapat tidur, karena pernyataan ibu itu selalu terngiang di benak saya.
Saya bertanya dalam hati, “Apa yang dapat saya buat bagi mereka?”
Saya tidak punya uang untuk membelikan mereka pakaian. Waktu itu saya juga tidak punya sisa pakaian. Namun suatu hari ada serombongan ibu-ibu yang memberi pakaian yang masih sangat layak pakai. Saya bawa pakaian itu untuk anak-anak Suku Anak Dalam itu.
Di dunia sekarang ini ada begitu banyak orang miskin yang tidak punya pakaian. Kondisi ini bisa menimpa jutaan orang yang mendiami bumi ini. Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita buat untuk sesama yang tidak cukup punya pakaian? Apakah kita akan membiarkan mereka kedinginan di musim hujan, karena tidak punya pakaian yang pantas?
Sebagai orang beriman, melihat kondisi seperti ini tentu membuat hati kita trenyuh. Kita tidak tega membiarkan sesama yang terlunta-lunta, karena ketiadaan pakaian. Karena itu, kita diajak untuk memberi perhatian kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan dari sesamanya.
Orang-orang yang malang seperti ini membutuhkan bantuan yang kita beri dengan kasih dan kegembiraan. Iman yang hidup itu tampak dalam perbuatan nyata. Orang yang menyatakan diri beriman, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk sesamanya yang menderita itu bagai tong kosong nyaring bunyinya. Imannya tidak membuahkan kasih sayang bagi sesama.
Saudara, kita beruntung bahwa kita memiliki pakaian yang pantas yang dapat kita gunakan dalam berbagai acara. Karena itu, uluran tangan kasih yang kita berikan kepada sesama yang menderita akan memberi kesempatan bagi sesama untuk melanjutkan hidup ini dengan lebih baik. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/membantu-sesama-yang-kekurangan-pakaian.html
Selasa, 06 September 2011
6 September-Tuhan, Sumber Air Hidup
Tuhan, Sumber Air Hidup
Ketika saya berusia sebelas tahun, saya pergi ke sungai yang berjarak kira-kira lima kilometer dari rumah. Waktu itu, saya pergi bersama ibu saya. Biasanya di sungai itu kami mandi, mencuci pakaian dan mengambil air untuk kebutuhan dapur. Air sungai ini sangat jernih. Air yang kami bawa pulang biasanya kami isi di dalam bambu sepanjang tiga atau empat ruas. Dengan cara itu, kami mudah untuk memikulnya.
Panas matahari yang menyengat ketika perjalanan pulang itu sangat menguras tenaga saya. Dalam perjalanan pulang itu, saya merasa sangat haus. Namun saya tidak bisa minum air yang ada di dalam bambu yang saya pikul. Air yang ada itu sangat berbahaya bagi perut saya.
Saya minta ijin kepada ibu saya untuk minum air yang belum direbus itu. Tetapi ibu saya tidak mengijinkan. Saya menangis tersedu-sedu, karena dahaga tak tertahankan lagi. Saya sangat membutuhkan air yang menyegarkan dahaga saya. Setitik air saja akan sangat menolong lidah saya terlepas dari dahaga.
Saya yakin kita semua merasakan haus. Haus itu suatu pengalaman yang sangat manusiawi. Ketika kita haus, naluri kita mendorong kita untuk mengambil segelas air untuk diteguk. Namun jika kita tidak minum, kita akan mengalami sakit kepala atau dapat juga mati karena kekurangan air atau dehidrasi. Tanaman-tanaman akan cepat layu dan bahkan akan mati, kalau dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka membutuhkan air untuk dapat bertahan hidup.
Namun pengalaman manusiawi akan haus tidak hanya terjadi secara fisik. Manusia dapat mengalami haus dalam hidup rohani. Hal ini dapat membawa manusia kepada kehampaan dalam hidup. Orang yang mengalami kekeringan rohani itu merasa hidupnya tidak bermakna. Hidupnya itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang menonjol.
Di dunia sekarang ini banyak orang haus akan kasih, perhatian, harapan dan iman. Mereka membutuhkan air kehidupan yang diberikan dengan kasih, karena hati mereka sedang dilanda kekeringan. Mereka selalu butuh untuk membangun hubungan dengan mereka yang dapat membersihkan ‘padang gurun’ dari hati mereka dan memberi keteguhan iman kepada mereka. Mereka mengharapkan tangan-tangan kuat yang dapat menuntun mereka kepada kehidupan yang lebih baik.
Bagi orang beriman, Tuhan adalah sumber kehidupan kita. Tuhan itu bagai air yang terus-menerus mengalir dan memberi kehidupan bagi kita. Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa datang kepada Tuhan. Kita ingin menimba air hidup yang mengalir dari Tuhan sendiri. Untuk itu, dibutuhkan suatu keyakinan dalam diri kita bahwa hanya Tuhan yang mampu memberi kita kehidupan yang abadi. Dalam kehidupan yang abadi itu tidak ada lagi dahaga. Tidak ada lagi rasa haus.
Kekeringan rohani yang kita alami dalam perjalanan hidup kita dapat diatasi apabila kita selalu menyerahkan hidup kepada Tuhan. Kita berharap bahwa Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu dapat menjadi sumber air yang menyegarkan jiwa kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/tuhan-sumber-air-hidup.html
Ketika saya berusia sebelas tahun, saya pergi ke sungai yang berjarak kira-kira lima kilometer dari rumah. Waktu itu, saya pergi bersama ibu saya. Biasanya di sungai itu kami mandi, mencuci pakaian dan mengambil air untuk kebutuhan dapur. Air sungai ini sangat jernih. Air yang kami bawa pulang biasanya kami isi di dalam bambu sepanjang tiga atau empat ruas. Dengan cara itu, kami mudah untuk memikulnya.
Panas matahari yang menyengat ketika perjalanan pulang itu sangat menguras tenaga saya. Dalam perjalanan pulang itu, saya merasa sangat haus. Namun saya tidak bisa minum air yang ada di dalam bambu yang saya pikul. Air yang ada itu sangat berbahaya bagi perut saya.
Saya minta ijin kepada ibu saya untuk minum air yang belum direbus itu. Tetapi ibu saya tidak mengijinkan. Saya menangis tersedu-sedu, karena dahaga tak tertahankan lagi. Saya sangat membutuhkan air yang menyegarkan dahaga saya. Setitik air saja akan sangat menolong lidah saya terlepas dari dahaga.
Saya yakin kita semua merasakan haus. Haus itu suatu pengalaman yang sangat manusiawi. Ketika kita haus, naluri kita mendorong kita untuk mengambil segelas air untuk diteguk. Namun jika kita tidak minum, kita akan mengalami sakit kepala atau dapat juga mati karena kekurangan air atau dehidrasi. Tanaman-tanaman akan cepat layu dan bahkan akan mati, kalau dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka membutuhkan air untuk dapat bertahan hidup.
Namun pengalaman manusiawi akan haus tidak hanya terjadi secara fisik. Manusia dapat mengalami haus dalam hidup rohani. Hal ini dapat membawa manusia kepada kehampaan dalam hidup. Orang yang mengalami kekeringan rohani itu merasa hidupnya tidak bermakna. Hidupnya itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang menonjol.
Di dunia sekarang ini banyak orang haus akan kasih, perhatian, harapan dan iman. Mereka membutuhkan air kehidupan yang diberikan dengan kasih, karena hati mereka sedang dilanda kekeringan. Mereka selalu butuh untuk membangun hubungan dengan mereka yang dapat membersihkan ‘padang gurun’ dari hati mereka dan memberi keteguhan iman kepada mereka. Mereka mengharapkan tangan-tangan kuat yang dapat menuntun mereka kepada kehidupan yang lebih baik.
Bagi orang beriman, Tuhan adalah sumber kehidupan kita. Tuhan itu bagai air yang terus-menerus mengalir dan memberi kehidupan bagi kita. Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa datang kepada Tuhan. Kita ingin menimba air hidup yang mengalir dari Tuhan sendiri. Untuk itu, dibutuhkan suatu keyakinan dalam diri kita bahwa hanya Tuhan yang mampu memberi kita kehidupan yang abadi. Dalam kehidupan yang abadi itu tidak ada lagi dahaga. Tidak ada lagi rasa haus.
Kekeringan rohani yang kita alami dalam perjalanan hidup kita dapat diatasi apabila kita selalu menyerahkan hidup kepada Tuhan. Kita berharap bahwa Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu dapat menjadi sumber air yang menyegarkan jiwa kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/tuhan-sumber-air-hidup.html
Senin, 05 September 2011
5 September - Menjadi Saudara bagi Semua Orang
Menjadi Saudara bagi Semua Orang
Suatu malam seseorang menelepon saya. Saya belum pernah bertemu dengan orang ini. Namun dengan penuh keramahan ia menyapa saya, “Saudaraku yang baik.” Lantas ia menyebutkan namanya. Pertama kali itu saya mendengar namanya.
“Apa kabar saudaraku,” saya menjawab meski hati saya tetap bertanya-tanya tentang identitas orang itu.
Ia tertawa ngakak. Seolah-olah malam itu ia mendapatkan seorang saudara yang dapat ia curahkan seluruh isi hatinya. Memang, kemudian ia bercerita tentang suka duka hidupnya. Yang paling banyak ia sharingkan adalah pahit getir hidupnya dalam membangun usaha dan keluarga.
Ia bercerita, “Beberapa kali usaha saya gagal. Usaha-usaha saya sudah mulai besar, tetapi kemudian jatuh lagi. Saya harus merangkak lagi dari bawah. Coba Anda bayangkan betapa sulitnya memulai usaha baru, tetapi dengan semudah itu jatuh. Seolah-olah semua yang telah saya upayakan itu sia-sia belaka.
Saya berusaha untuk menghiburnya. Saya berusaha untuk menuntun dia menemukan makna dari kegagalan-kegagalannya dalam usaha-usahanya. Saya berkata, “Saudaraku, Tuhan pasti menolongmu.”
Ia menjawab, “Aku tahu Tuhan selalu menolong saya. Buktinya, setiap kali saya gagal, saya bisa bangkit lagi dengan usaha yang baru. Istri dan anak-anak saya mendapatkan ketenangan batin. Terima kasih atas nasihat-nasihat saudara.”
Ia kemudian tertawa terbahak-bahak. Lantas ia mengucapkan selamat tidur kepada saya sambil berjanji akan menelepon lagi, kalau dia membutuhkan bantuann berupa nasihat.
Saya agak bingung dengan tingkah orang yang baru pertama kali berkenalan lewat telepon itu. Biasanya dalam keadaan sulit seperti itu di penghujung pembicaraan akan meminta uang untuk modal usaha. Tetap orang ini tidak. Ia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. Itu sudah cukup baginya.
Beberapa waktu kemudian, ia menelepon saya lagi dengan maksud yang sama. Kali ini ia memamerkan keberhasilan usaha-usahanya. Ia tetap menyapa saya dengan ‘saudaraku yang baik’. Aneh, setelah itu ia tidak teleponn lagi. Mungkin ia tidak membutuhkan nasihat saya lagi.
Membangun persaudaraan yang baik memang tidak mudah. Selalu saja ada hambatan. Tetapi orang yang beriman biasanya menemukan cara-cara yang baik dalam membangun persaudaraan. Ia tidak putus asa menghadapi hambatan-hambatan. Justru hambatan-hambatan itu manjadi berkat baginya untuk membangun persaudaraan yang lebih baik.
Persaudaraan yang sehat dan baik itu dibangun dalam kasih. Orang yang memiliki kasih, dia akan dengan mudah membangun persaudaraan dengan setiap orang yang dia jumpai. Untuk itu kita perlu menghilangkan rasa curiga terhadap sesama yang kita jumpai. Mari kita menjadi saudara bagi semua orang. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih indah. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/menjadi-saudara-bagi-semua-orang.html
Suatu malam seseorang menelepon saya. Saya belum pernah bertemu dengan orang ini. Namun dengan penuh keramahan ia menyapa saya, “Saudaraku yang baik.” Lantas ia menyebutkan namanya. Pertama kali itu saya mendengar namanya.
“Apa kabar saudaraku,” saya menjawab meski hati saya tetap bertanya-tanya tentang identitas orang itu.
Ia tertawa ngakak. Seolah-olah malam itu ia mendapatkan seorang saudara yang dapat ia curahkan seluruh isi hatinya. Memang, kemudian ia bercerita tentang suka duka hidupnya. Yang paling banyak ia sharingkan adalah pahit getir hidupnya dalam membangun usaha dan keluarga.
Ia bercerita, “Beberapa kali usaha saya gagal. Usaha-usaha saya sudah mulai besar, tetapi kemudian jatuh lagi. Saya harus merangkak lagi dari bawah. Coba Anda bayangkan betapa sulitnya memulai usaha baru, tetapi dengan semudah itu jatuh. Seolah-olah semua yang telah saya upayakan itu sia-sia belaka.
Saya berusaha untuk menghiburnya. Saya berusaha untuk menuntun dia menemukan makna dari kegagalan-kegagalannya dalam usaha-usahanya. Saya berkata, “Saudaraku, Tuhan pasti menolongmu.”
Ia menjawab, “Aku tahu Tuhan selalu menolong saya. Buktinya, setiap kali saya gagal, saya bisa bangkit lagi dengan usaha yang baru. Istri dan anak-anak saya mendapatkan ketenangan batin. Terima kasih atas nasihat-nasihat saudara.”
Ia kemudian tertawa terbahak-bahak. Lantas ia mengucapkan selamat tidur kepada saya sambil berjanji akan menelepon lagi, kalau dia membutuhkan bantuann berupa nasihat.
Saya agak bingung dengan tingkah orang yang baru pertama kali berkenalan lewat telepon itu. Biasanya dalam keadaan sulit seperti itu di penghujung pembicaraan akan meminta uang untuk modal usaha. Tetap orang ini tidak. Ia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. Itu sudah cukup baginya.
Beberapa waktu kemudian, ia menelepon saya lagi dengan maksud yang sama. Kali ini ia memamerkan keberhasilan usaha-usahanya. Ia tetap menyapa saya dengan ‘saudaraku yang baik’. Aneh, setelah itu ia tidak teleponn lagi. Mungkin ia tidak membutuhkan nasihat saya lagi.
Membangun persaudaraan yang baik memang tidak mudah. Selalu saja ada hambatan. Tetapi orang yang beriman biasanya menemukan cara-cara yang baik dalam membangun persaudaraan. Ia tidak putus asa menghadapi hambatan-hambatan. Justru hambatan-hambatan itu manjadi berkat baginya untuk membangun persaudaraan yang lebih baik.
Persaudaraan yang sehat dan baik itu dibangun dalam kasih. Orang yang memiliki kasih, dia akan dengan mudah membangun persaudaraan dengan setiap orang yang dia jumpai. Untuk itu kita perlu menghilangkan rasa curiga terhadap sesama yang kita jumpai. Mari kita menjadi saudara bagi semua orang. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih indah. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/02/menjadi-saudara-bagi-semua-orang.html
Langganan:
Postingan (Atom)