
Teman-temannya terpaksa percaya, karena ia anak yang baru pindah dari kota tetangga. Gaya hidup gadis itu pun semakin tinggi. Kalau teman-temannya mengajak untuk makan di warung di pinggir jalan, ia menolak. Ia mau makan di restoran yang mahal. Akibatnya, ia semakin kehilangan teman. Dari hari ke hari teman-temannya semakin berkurang.

Akhirnya, gadis yang ingin populer itu kehilangan teman-temannya. Ia menjadi orang yang asing di tempat itu. Tidak ada yang mau bepergian dengannya.
Mencari popularitas diri bukan hal yang aneh lagi dalam dunia kita sekarang ini. Popularitas sudah menjadi obsesi dari begitu banyak orang. Bahkan di tengah situasi krisis seperti sekarang ini. Orang bahkan berani mengorbankan sesamanya demi popularitas diri itu.
Kisah gadis tadi menjadi salah satu contoh bentuk negatif dari popularitas. Karena ingin populer, gadis itu tidak mau mengakui ayahnya yang miskin. Meski secara fisik ia menerima kehadirannya, tetapi di dalam hatinya sebenarnya ia menolak kehadiran ayahnya.
Soalnya, apa yang didapat dari popularitas itu? Bukankah yang sering diperoleh adalah kepuasan semu? Semestinya yang ditemukan dalam popularitas itu adalah damai dan kesejahteraan bagi semua orang.
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menciptakan damai bagi diri dan sesama. Hanya melalui kedamaian itu, kita dapat menciptakan suatu hidup yang bahagia. Mari kita bersama-sama berusaha untuk menerima setiap orang dalam hidup kita. **
Frans de Sales, SCJ
sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/indahnya-hidup-dalam-kebersamaan.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar