Iman yang Hidup
Di suatu daerah terjadi kelaparan. Banyak anak
yang mengalami gizi buruk. Ada yang mengalami busung lapar. Kondisi
tubuh mereka sangat mengenaskan. Sementara orang-orang dewasa tampak
kurus kering. Tiada makanan bergizi yang dapat membuat mereka tumbuh
dengan baik. Akibat lanjut dari gizi buruk bagi anak-anak itu adalah
pertumbuhan otak mereka juga terhambat.
Selidik punya selidik,
ternyata akibat dari kelaparan yang melanda daerah itu adalah kaum
lelaki malas bekerja. Yang bekerja di ladang dan sawah hanya kaum ibu.
Sedangkan kaum lelaki menghabiskan waktu mereka di meja judi. Pagi-pagi
buta kaum ibu itu berangkat ke sawah atau ladang. Mereka tidak sempat
lagi menyiapkan makan untuk anak-anak mereka. Mereka baru tiba kembali
di rumah pada sore hari. Akibatnya, anak-anak mereka terlantar. Apalagi
suami-suami mereka tidak peduli terhadap anak-anak mereka.
Kelaparan tidak bisa dielakkan. Namun kaum lelaki tetap cuek. Mereka
melanjutkan kebiasaan bermain judi. Mereka memaksa istri-istri mereka
untuk memberi mereka uang untuk berjudi. Kalau tidak diberi, kaum istri
itu menjadi sasaran pukulan. Mereka juga tidak segan-segan menggadaikan
tanah yang mereka miliki untuk berjudi.
Salah satu penyebab
kemiskinan adalah kemalasan. Dalam suasana malas itu orang tidak bisa
berpikir kreatif. Seolah-olah tidak ada jalan untuk keluar dari
kungkungan kemiskinan itu. Dalam keadaan seperti ini orang cenderung
mencari yang enak dan menyenangkan bagi diri sendiri. Orang tidak peduli
bahwa mereka juga makhluk sosial yang mesti terlibat dalam kehidupan
bersama. Orang tidak peduli bahwa hidup mereka juga memiliki fungsi
untuk memajukan kehidupan bersama.
St Paulus mengatakan bahwa
kalau orang tidak bekerja janganlah ia makan. Melalui kerja seseorang
mengekspresikan seluruh hidupnya. Melalui kerja orang mengungkapkan
imannya kepada Tuhan yang disembahNya. Orang yang beriman itu tidak
hanya mengungkapkan imannya dengan rajin beribadat dan berdoa. Tetapi
orang yang beriman itu juga menghayati imannya dalam hidup yang nyata
dengan bekerja untuk mencari nafkah.
Bekerja atau memiliki
pekerjaan juga merupakan wujud tanggung jawab kita terhadap masyarakat
di sekitar kita. Orang yang bekerja menunjukkan kepada masyarakat bahwa
ia memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakatnya. Dengan gaji
yang ia miliki, ia dapat menyumbang kepada masyarakat melalui pajak. Ia
tidak menyumbang pengangguran kepada masyarakat. Ia tidak menyumbang
kemiskinan kepada masyarakat di mana ia hidup.
Orang yang
beragama itu orang yang selalu menghayati imannya dalam hidup
sehari-hari. Bekerja atau memiliki pekerjaan yang baik itu menjadi suatu
penghayatan iman kepada Tuhan. Karena itu, kesadaran untuk bekerja
merupakan suatu tuntutan terhadap seorang yang beriman. Ia tidak cukup
hanya mengatakan ia seorang beriman dengan rajin beribadat dan berdoa.
Iman itu mesti ditunjukkan dalam perbuatan nyata. Caranya adalah dengan
bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan sesama.
Kalau orang
berani menyingsingkan lengan baju untuk bekerja keras bagi diri dan
sesama, imannya sungguh-sungguh hidup. Karena iman tanpa perbuatan pada
hakekatnya adalah mati. Iman yang hidup itu mesti tampak dalam perbuatan
yang nyata pula.
Karena itu, mari kita berjuang untuk
menghayati iman kita dengan bekerja yang benar dan rajin. Itulah bagian
dari iman kita kepada Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang. Sambil
berdoa dan beribadat kepada Tuhan, kita terus bekerja untuk melepaskan
diri dan masyarakat kita dari belenggu kemiskinan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber : http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/05/iman-yang-hidup.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar