Memberi Secangkir Air bagi Yang Haus
Konon
suatu hari seorang kaya raya mengumpulkan semua ahli dan orang
bijaksana di negerinya. Ia ingin mereka memberikan masukan mengenai
pelayanan yang akan dibuat untuk rakyatnya. Ia mau semua rakyatnya
hidup sejahtera, damai dan tenteram.
Dengan penuh wibawa
ia bertanya kepada mereka, “Mana bentuk pelayanan terbaik dan mana saat
yang terbaik untuk memberikan pelayanan bagi rakyat?”
Semua
ahli dan orang bijak itu memberi berbagai macam jawaban kepada raja.
Namun menurut raja, jawaban-jawaban mereka tidak memuaskan di hatinya.
Semua jawaban mereka sudah hal yang biasa. Tidak ada yang baru. Jadi
raja memutuskan untuk mendrop semua jawaban mereka.
Lantas
suatu hari sementara berjuang melawan musuhnya di medan perang, dia
sengaja memisahkan diri dari para prajuritnya dalam sebuah hutan yang
lebat. Lalu dia berjalan sendirian. Tanpa seorang pengawal pun. Semakin
jauh ia berjalan, ia merasa lapar dan haus yang tak tertahankan.
Akhirnya ia menemukan sebuah pertapaan.
Ia
masuk ke dalam pertapaan itu dalam kondisi yang lemah. Seorang pertapa
tua menerimanya dengan hangat dan menghidangkan secangkir air sejuk
bagi raja. Ia juga diberi makan yang secukupnya. Sesudah beristirahat
di tempat tidur pertapa itu, raja itu bertanya, “Manakah pelayanan
terbaik yang harus aku berikan kepada rakyatku?”
Pertapa tua itu menjawab, “Memberikan secangkir air kepada seseorang yang kehausan.”
Raja mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu ia bertanya lagi, “Kapan itu dapat diberikan?”
Dengan
penuh kebijaksanaan pertapa itu berkata, “Ketika dia datang dari jauh
dan kesepian, sedang mencari suatu tempat yang dapat dicapainya.”
Raja
itu sangat terkejut. Ternyata pelayanan yang terbaik itu sangat
sederhana. Selama ini ia selalu memikirkan pelayanan yang hebat-hebat.
Tetapi pada kenyataannya rakyatnya membutuhkan hal-hal yang biasa untuk
mencapai kesejahteraan, damai dan ketenteraman.
Di jaman
kini banyak orang menggembar-gemborkan tentang melayani sesama. Ada
berbagai usaha yang hebat-hebat dengan program yang luar biasa pula
untuk melayani rakyat. Ada usaha-usaha untuk membantu pengentasan
kemiskinan. Pertanyaannya, apa yang sudah dicapai melalui program yang
hebat-hebat itu? Mungkin sudah banyak yang dicapai. Tetapi kenyataannya
adalah masih ada begitu banyak orang yang menderita kelaparan, kurang
gizi. Bahkan masih juga ditemukan adanya gizi buruk di daerah-daerah
tertentu. Lalu pelayanan macam apa yang sudah diberikann untuk
mengentas kemiskinan itu?
Orang
yang sungguh beriman itu memberikan suatu pelayanan yang tuntas, tanpa
berpikir tentang dirinya sendiri. Ia tidak memikirkan apa yang akan ia
peroleh setelah memberikan pelayanan bagi sesamanya yang membutuhkan
pertolongan. Mungkin yang terjadi dengan persoalan gizi buruk atau
busung lapar adalah persoalan kesungguhan melayani orang-orang yang
miskin. Kesungguhan itu mesti tampak dalam karya yang nyata.
Kesungguhan pelayanan itu mesti tampak dalam kejujuran dan kesetiaan
untuk melayani mereka yang miskin dan lemah.
Hari ini
kita sudah berusaha untuk melayani sesama. Karena itu, mari kita bawa
semua bentuk pelayanan kita itu dalam hidup kita. Kita ucapkan syukur
dan terima kasih atas penyertaan Tuhan bagi kita. Tuhan begitu baik.
Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber :http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2010/03/memberi-secangkir-air-bagi-yang-haus.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar