

Suatu hari, ia didiagnosa bahwa ia mengidap tumor otak yang ganas. Ia mulai resah. Ia tidak dapat lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia hilang harapan untuk melanjutkan hidup ini.

Setelah lama berpikir, teman saya itu mengambil keputusan yang aneh. Ia mendaki gunung dengan alam yang masih asri. Ia melakukan lagi kebiasaanya dulu, ketika ia masih SD. Ia melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendaki gunung. Di atas gunung ia merasakan hidupnya begitu damai. Ia tidak dikejar-kejar oleh kesibukan kantornya. Ia merasa lepas bebas.
Enam bulan kemudian penyakit tumor ganas itu hilang. Ternyata apa yang disukainya itu dapat menyembuhkan dirinya.
Sering orang memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak dapat mereka lakukan dalam hidup ini. Ibaratnya orang yang kakinya besar, tetapi memakai ukuran sepatu yang kecil. Tentu saja hal ini tidak cocok. Orang mesti mencari sesuatu yang pas untuk hidupnya. Orang tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya.
Karena itu, orang mesti berani hidup apa adanya. Orang mesti berani menampilkan dirinya yang sebenarnya. Orang tidak perlu memoles diri dengan hal-hal yang justru dapat menjerumuskan dirinya.
Dalam kacamata orang beriman, hal ini mendorong seseorang untuk semakin menyerahkan diri kepada Tuhan yang diimaninya. Keterbatasan manusiawi kita mesti menjadikan kita semakin percaya bahwa Tuhan selalu mengasihi kita dengan segala keterbatasan yang kita miliki.
Mari kita berjuang untuk menemukan diri kita yang sebenarnya. Dengan demikian kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
sumber:http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/2009/11/menyadari-keterbatasan-diri.html